Senin, 05 Februari 2018

BATASAN, PENGENALAN, DAN JENIS MORFEM DALAM BAHASA INDONESIA










BATASAN, PENGENALAN, DAN JENIS MORFEM DALAM BAHASA INDONESIA
























BAB I
PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang

Morfologi merupakan bagian dari ilmu bahasa atau linguistik. Ilmu bahasa secara singkat dapat dijelaskan sebagai ilmu yang mempelajari seluk beluk bahasa secara ilmiah, atau secara scientific. Seperti halnya ilmu-ilmu lain, ilmu bahasa bersifat umum, maksudnya tidak terkait dengan sesuatu bahasa. Namun demikian, berdasarkan bahasa yang dipelajari, ilmu bahasa dapat dibedakan menjadi ilmu bahasa Jawa, ialah ilmu yang mempelajari secara khusus bahasa Jawa, ilmu bahasa Sunda, ialah ilmu yang khusus mempelajari bahasa Sunda, dan ilmu bahasa yang khusus mempelajari bahasa Indonesia, di sini disebut ilmu bahasa Indonesia.
Selain berdasarkan bahasa yang dipelajari, ilmu bahasa dapat juga diperbedakan berdasarkan stuktur interennya. Berdasarkan ini, ilmu bahasa dapat diperbedakan menjadi fonetik, fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Fonetik mempelajari fungsi bunyi bahasa sebagai pembeda arti; fonologi mempelajari bunyi bahasa sebagai pembeda arti, ialah yang disebut fonem; morfologi mempelajari seluk beluk struktur kata; sintaksis mempelajari seluk-beluk struktur frase, kalimat, dan wacana; semantik mempelajari seluk-beluk arti.
Makalah ini, di dalamnya akan membahas tentang morfologi. Konsep bahwa dapat tidaknya sebuah dasar diberi proses morfologi tertentu bergantung pada komponen makna yang dimiliki sebuah bentuk dasar, akan dicoba digunakan untuk melihat bagaimana proses pembentukan kata dalam bahasa Indonesia. Pendekatan ini  diharapkan dapat menjadi “berani”nya penutur bahasa Indonesia untuk menggunakan bentuk-bentuk yang secara gramatikal dan semantik berterima, tetapi dewasa ini belum lazim. Misalnya, kini orang alih-alih menggunakan bentuk berpesawat atau berbus, malah menggunakan bentuk naik pesawat dan naik bus.



1.2  Rumusan Masalah

1.      Bagaimanakah batasan morfem?
2.      Bagaimanakah identifikasi atau pengenalan morfem?
3.      Apasajakah jenis-jenis morfem?
4.      Apakah perbedaan morfem, alomorf, dan kata dasar?


1.3  Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui dan memahami hal-hal sebagai berikut.
1.      Batasan morfem.
2.      Identifikasi atau pengenalan morfem.
3.      Jenis-jenis morfem.
4.      Perbedaan morfem, alomorf, dan kata dasar.

























BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Batasan Morfem
a. Menurut Abdul Chaer
Morfem adalah satuan gramatikal terkecil yang memiliki makna. Dengan kata terkecil berarti “satuan” itu tidak dapat dianalisis menjadi lebih kecil lagi tanpa merusak maknanya. Dalam konvensi linguistik sebuah bentuk dinyatakan sebagai morfem ditulis di dalam kurung kurawal ({...}).
Contoh:
1.      Bentuk membeli dapat dianalisis menjadi dua bentuk terkecil yaitu {me-} dan {beli}. Bentuk {me-} adalah sebuah morfem, yakni morfem afiks yang secara gramatikal memiliki sebuah makna; dan bentuk {beli} juga sebuah morfem, yakni morfem dasar yang secara leksikal memiliki makna. Kalau bentuk beli dianalisismenjadi lebih kecil lagi menjadi be- dan li-, keduanya jelas tidak memiliki makna apapun.  Jadi, keduanya bukan morfem.

2.      Bentuk berpakaian dapat dianalisis ke dalam satuan-satuan terkecil. Menjadi {ber-}, {pakai}, dan {-an}. Ketiganya adalah morfem. {Ber} adalah morfem prefiks, {pakai} adalah morfem dasar, dan {-an} adalah morfem sufiks. Ketiganya juga memiliki makna. Morfem {ber-} dan morfem {-an} memiliki makna gramatikal, sedangkan morfem {pakai} memiliki makna leksikal (Chaer, 2008: 13).

b. Menurut Jos Daniel Parera
Definisi morfem sebagai berikut: “Satu bentuk bahasa yang sebagiannya tidak mirip dengan bentuk lain manapun juga, baik bunyi maupun arti, adalah bentuk tunggal atau morfem.”
Contoh:
1.      Bentuk pelaut. Bukan terdiri atas sebuah morfem karena {pe-} mempunyai kemiripan dengan {pe-} dalam pelari, laut mempunyai kemiripan dengan bentuk lautan. Akan tetapi jika pelaut kita pisahkan atas pe- dan laut, maka masing-masing tidak mempunyai kemiripan dengan bentuk yang lain. Jadi masing-masing adalah sebuah morfem (Parera, 1990: 13).

2.      Dalam kalimat bahasa Pemuda-pemuda yang jangkung belum berkesempatan mandi. Terdiri atas beberapa morfem, yaitu;
1)   {pe-}          2) {muda}       3) {pe-}           4) {muda}       5) {yang}       
6) {jangkung} 7) {belum}      8) {ber-}          9) {sempat}     10) {ke-an}
11) {mandi}.


2.2    Pengenalan Morfem
Satuan bahasa merupakan komposit antara bentuk dan makna. Oleh karena itu, untuk menetapkan sebuah bentuk adalah morfem atau bukan didasarkan pada kriteria bentuk dan makna itu. Hal-hal berikut dapat dipedomani untuk menemukan morfem dan bukan morfem itu (Chaer, 2008: 13—15) dan (Ramlan 1987: 36—44).
1)      Dua bentuk yang sama atau lebih memiliki makna yang sama merupakan sebuah morfem. Contohnya kata bulandan bajupada kalimat di bawah ini adalah sebuah morfem yang sama.
Contoh:           - Bulan depan dia akan menikah.
- Sudah tiga bulan dia belum bayar uang SPP.
- Bulan November lamanya 30 hari.
-  Menjahit baju
- Baju biru
- Baju batik
-  Berbaju

Menurut Ramlan (1987: 36—37) Satuan ke—an dalam kehujanan dan kemanusiaan, meskipun keduanya mempunyai struktur fonologik yang sama, tetapi tidak dapat dimasukkan dalam satu morfem karena makna atau arti gramatiknya tidak sama. Satuan ke—an dalam kehujanan menyatakan makna ‘pasif keadaan’, sedangkan ke—an dalam kemanusiaan menyatakan makna ‘abstraksi hal’.
Sesuai dengan prinsip ini jelaslah bahwa satuan-satuan merupakan satu morfem apabila mempunyai struktur fonologik dan arti atau makna yang sama, yang dimaksud dengan struktur fonologik adalah urutan fonem.


2)      a. Dua bentuk yang sama atau lebih bila memiliki makna yang berbeda merupakan dua morfem yang berbeda. Misalnya kata bunga pada kedua kalimat adalah dua morfem yang berbeda.
Contoh:           - Bank Indonesia memberikan bunga 5 persen per tahun
Dia datang membawa seikat bunga.
-  Ia membaca buku (kitab)
 Buku tebu (sendi)
b. Apabila satuan yang mempunyai struktur fonologik yang sama itu mempunyai arti yang berhubungan, satuan itu merupakan satu morfem apabila distribusinya tidak sama, dan merupakan morfem yang berbeda apabila distribusinya sama.
            Contoh:           - Ia sedang duduk
Duduk orang itu sangat sopan
- Ia belum datang
Datangnya terlambat

            Penjelasan:      Kata duduk dalam Ia sedang duduk merupakan satu
morfem dengan kata duduk dalam Duduk orang itu sangat sopan karena keduanya mempunyai arti yang berhubungan dan mempunyai distribusi yang berbeda. Kata duduk dalam
Ia sedang duduk berfungsi sebagai predikat dan termasuk
golongan kata verbal, sedangkan kata duduk dalam
Duduknya orang itu sangat sopan merupakan bagian dari
subjek dan termasuk golongan kata nominal sebagai akibat
adanya proses nominalisasi. Demikian pula kata datang
pada Ia belum datang merupakan satu morfem dengan kata
datang dalam datangnya terlambat karena keduanya
mempunyai arti yang berhubungan dan mempunyai
distribusi yang berbeda (Ramlan, 1987: 41). 


3)      Dua buah bentuk yang berbeda,  tetapi memiliki makna yang sama, merupakan dua morfem yang berbeda. Contohnya kata ayah dan bapak pada kedua kalimat berikut.
Contoh:           - Ayah pergi ke Medan.
- Bapak baru pulang dari Medan.


4)      Bentuk-bentuk yang mirip (berbeda sedikit) tetapi maknanya sama adalah sebuah morfem yang sama, asal perbedaan bentuk itu dapat dijelaskan secara fonologis. Contohnya bentuk-bentuk me-, mem-, men-, meny-, dan menge- pada kata-kata di bawah ini merupakan morfem yang sama.
Contoh:           - melihat
- membina
- mendengar
- menyusul
- mengambil
- mengecat
Dari kata-kata tersebut di atas, jelaslah bahwa perbedaan struktur fonologik mem—, men—, meny—, meng—, menge—, dan me— disebabkan oleh konsonan awal satuan yang mengikutinya, atau dengan kata lain disebabkan oleh kondisi satuan yang mengikutinya , yaitu (Ramlan, 187: 38—39):
- Mem—apabila konsonan awal satuan yang mengikutinya berupa /b/.
- Men—apabila konsonan awal satuan yang mengikutinya berupa /d/.
- Meny—apabila konsonan awal satuan yang mengikutinya berupa /s/.
- Meng—apabila konsonan awal satuan yang mengikutinya berupa /g/.
- Menge—apabila konsonan awal satuan yang mengikutinya terdiri atas satu suku.
- Me—apabila konsonan awal satuan yang mengikutinya berupa /l/.
Berdasarkan penjelasan tersebut jelaslah bahwa perbedaan struktur fonologiknya dapat dijelaskan secara fonologik, dan karena itu satuan-satuan tersebut merupakan satu morfem, atau merupakan alomorf dari morfem yang sama, ialah morfem meN—. Karena kondisi yang mengikutinya, morfem ini berubah menjadi mem—, men—, meny—, meng—, menge—, dan me—.

5)      a.  Setiap satuan yang dapat dipisahkan merupakan morfem (Ramlan 1987: 43).
Contoh:           - Bersandar dan sandaran terdiri atas satuan ber— dan
sandar, dan satuan sandaran terdiri atas sandar dan —an.
Maka, ber—, sandar, dan —an masing-masing
merupakan morfem sendiri-sendiri.
-  Di samping menduduki, terdapat diduduki, mendudukkan, diduduki, terduduk, penduduk, dan kedudukan. Di samping itu terdapat pula kata duduk. Jelaslah bahwa menduduki terdiri atas tiga morfem, yaitu meN—, duduk dan —i. Diduduki terdiri atas tiga morfem, yaitu di—, duduk, dan —i. Maka meN—, di—, duduk, —i, —kan, ter—, peN—, dan ke—an merupakan morfem sendiri-sendiri.
b.    Bentuk yang hanya muncul dengan pasangan satu-satunya adalah juga sebuah morfem.
Contoh:           - Bentuk renta pada konstruksi tua renta, dan bentuk kuyup            pada konstruksi basah kuyup adalah juga morfem.
-  Bentuk bugar pada konstruksi segar bugar dan bentuk  
 mersik pada konstruksi kering mersik.
Penjelasan:      Satuan renta yang berarti ‘sekali’ hanya terdapat pada tua renta, tetapi di samping tua renta terdapat tua bangka, sudah tua, tertua, dan ketua. Maka jelaslah bahwa tua merupakan satu morfem, dan renta, yang hanya dapat bergabung dengan tua, juga merupakan morfem tersendiri. Demikian pula satuan-satuan bangka, sudah, ke—, dan ter—. Satu morfem yang hanya dapat berkombinasi dengan satu morfem saja disebut morfem unik. Demikianlah morfem renta itu disebut morfem unik (Ramlan 1987: 43—44).

6)      Apabila dalam deretan struktur, satuan struktur berpararel dengan suatu kekosongan, maka kekosongan itu merupakan morfem ialah yang disebut morfem zero.
Contoh:           - (1) Ia membeli sepeda.
-  (2) Ia menjahit baju.
-  (3) Ia membaca buku.
-  (4) Ia menulis surat.
-  (5) Ia makan roti.
-  (6) Ia minum es.
Semua kalimat tersebut berstruktur SPO. Maksudnya ketika subjek ada di muka, diikuti P atau predikat, diikuti O atau objek. Predikatnya merupakan kata verbal yang transitif.  Pada kalimat 1, 2, 3, 4, kata verbal yang transitif itu ditandai dengan adanya me-N, sedangkan pada kalimat 5 dan 6, kata verbal transitif ditandai oleh kekosongan, ialah tak adanya men-N. Maka kekosongan itu merupakan morfem, yang disebut morfem zero.

7)      Bentuk yang muncul berulang-ulang pada satuan bahasa yang lebih besar (klausa, kalimat) apabila maknanya berbeda secara polisemi adalah juga merupakan morfem yang sama. Umpamanya kata kepala pada kalimat-kalimat berikut memiliki makna yang berbeda secara polisemi, tetapi tetap merupakan morfem yang sama.
Contoh:           - Ibunya menjadi kepala sekolah di sana.
-          Nomor teleponnya tertera pada kepala surat itu.
-          Kepala jarum itu terbuat dari plastik.
-          Setiap kepala mendapat bantuan sepuluh ribu rupiah.
-          Tubuhnya memang besar tetapi sayang kepalanya kosong.


2.3    Jenis-Jenis Morfem
Kajian morfologi biasanya dibedakan adanya beberapa morfem berdasarkan kriteria tertentu, seperti kriteria kebebasan, makna, dan sebagainya. Berikut ini termasuk jenis-jenis morfem, yaitu (Chaer, 2008: 16—21).
1)   Berdasarkan kebebasannya untuk dapat digunakan langsung dalam pertuturan.
a.      Morfem bebas
Morfem bebas adalah morfem tanpa keterkaitannya dengan morfem lain dapat langsung digunakan dalam pertuturan. Misalnya morfem {pulang}, {merah}, dan {pergi}. Morfem bebas ini tentunya merupakan morfem dasar.
b.      Morfem terikat
Morfem terikat adalah morfem yang harus terlebih dahulu bergabung dengan morfem lain untuk dapat digunakan dalam pertuturan. Dalam hal ini, semua afiks dalam bahasa Indonesia termasuk morfem terikat. Di samping itu banyak juga morfem terikat yang berupa morfem dasar, seperti {henti}, {juang}, dan {geletak}. Untuk dapat digunakan ketiga morfem ini harus terlebih dahulu diberi afiks atau digabung dengan morfem lain. Misanya {juang} menjadi berjuang, pejuang, dan daya juang; {henti} harus digabung terlebih dulu oleh afiks seperti menjadi berhenti, perhentian, dan menghentikan; dan geletak harus diberi imbuhan dulu, misalnya menjadi tergeletak dan menggeletak.
Adanya morfem bebas dan terikat dapat dibagankan menjadi:
                                 Bebas                          dasar
Morfem                                                    
                                   terikat                        dasar
              afiks
Berkenaan dengan bentuk dasar dan terikat, perlu dikemukakan catatan sebagai berikut:
Pertama, bentuk dasar terikat, seperti gaul, juang, dan henti lazim juga disebut bentuk prakategorial karena bentuk-bentuk tersebut belum memiliki kategori sehingga tidak dapat digunakan dalam pertuturan.
Kedua, Verhaar dalam Chaer (2008: 17) juga memasukkan bentuk-bentuk seperti beli, baca, dan tulis ke dalam kelas kelompok prakategorial, karena untuk digunakan dalam kalimat harus terlebih dahulu diberi prefiks me-, prefiks di-, atau prefiks ter-. Dalam kalimat imperatif memang tanpa imbuhan bentuk-bentuk tersebut dapat digunakan. Namun, kalimat imperatif adalah hasil transformasi dari kalimat aktif transitif (yang memerlukan imbuhan).
Ketiga, bentuk-bentuk seperti renta (yang hanya muncul dalam tua renta), kerontang (yang hanya muncul dalam kering kerontang), dan kuyup (yang hanya muncul dalam basah kuyup) adalah termasuk dalam morfem terikat. Lalu oleh karena hanya muncul dalam pasangan tertentu, maka disebut morfem unik.
Keempat, bentuk-bentuk yang disebut klitika merupakan morfem yang agak sukar ditentukan statusnya, apakah morfem bebas atau terikat. Kemunculannya dalam pertuturan selalu terikat dengan bentuk lain, tetapi dapat dipisahkan. Contohnya klitika –ku dalam konstraksi bukuku dapat dipisahkan sehingga  menjadi buku baruku. Dilihat dari posisi tempatnya dibedakan adanya proklitika, yaitu klitika yang berposisi di muka kata yang diikuti seperti klitika –ku  dalam bentuk kubawa dan kuambil. Sedangkan yang disebut enklitika adalah klitika yang berposisi di belakang kata yang dilekati, seperti klitika –mu dan –nya pada bentuk nasibmu dan duduknya.
Kelima, bentuk-bentuk yang termasuk preposisi dan konjungsi seperti dan, oleh, di, dan karena secara morfologis termasuk morfem bebas, tetapi secara sintaksis merupakan bentuk terikat (dalam satuan sintaksisnya).
Keenam, bentuk-bentuk yang oleh Kridalaksana dalam Chaer (2008: 18) disebut proleksem, seperti a pada asusila, dwi (pada dwibahasa), dan ko pada (kopilot) juga termasuk morfem terikat.

2)   Berdasarkan keutuhan bentuknya dibedakan atas morfem utuh dan morfem terbagi.
a.      Morfem utuh
Morfem utuh secara fisik merupakan satu-kesatuan yang utuh. Semua morfem dasar, baik bebas maupun terikat, serta prefiksdan sufiks termasuk morfem utuh.
b.      Morfem terbagi
Morfem terbagi adalah morfem yang fisiknya terbagi atau disisipi morfem lain. Karenanya, semua konfiks (seperti ke-an, pe-an, dan per-an) termasuk morfem terbagi.
Namun, mengenai morfem terbagi ini ada dua catatan yang perlu diperhatikan, yaitu:
Pertama, semua konfiks adalah morfem terbagi; tetapi pada bentuk ber-an ada yang berupa konfiks dan yang bukan konfiks, misalnya ber-an pada kata berpakaian dalam kalimat “Sebelum berpakaian, ia mandi dulu” bukan konfiks yang dalam buku ini disebut klofiks (akronim dari kelompok afiks); tetapi ber-an pada kata bermunculan pada kalimat “Penyanyi baru banyak bermunculan pada tahun-tahun ini” adalah sebuah konfiks.
Kedua, dalam bahasa Indonesia ada afiks yang disebut infiks, yaitu afiks yang ditempatkan di tengah (di dalam) kata. Misalnya, infiks –el- pada kata dasar tunjuk menjadi kata telunjuk. Infiks itu memecah morfem tunjuk menjadi dua bagian, yaitu t-el-unjuk. Dengan demikian, morfem t—unjuk menjadi morfem terbagi, bukan morfem utuh.

3)   Berdasarkan kemungkinan menjadi dasar dalam pembentukan kata
a)      Morfem dasar
Morfem dasar adalah morfem yang  dapat menjadi dasar dalam suatu proses morfologi. Misalnya, morfem {beli}, {makan}, dan {merah}. Namun perlu diingat bentuk dasar yang termasuk dalam kategori preposisi dan konjungsi tidak pernah mengalami proses afiksasi.
b)     Morfem afiks
Morfem afik tidak dapat menjadi dasar, melainkan hanya sebagai pembentuk disebut morfem afiks, seperti morfem {me}, {-kan}, dan {pe-an}.
Berdasarkan pembagian tersebut, maka dapat dibuat bagan.
                                                bebas
                        dasar                terikat
Morfem          Afiks
4)   Berdasarkan jenis fonem yang membentuknya dibedakan menjadi sebagai berikut.
a.      Morfem segmental
Morfem segmental adalah morfem yang dibentuk oleh fonem-fonem segmental, yakni morfem yang berupa bunyi dan dapat disegmentasikan. Misalnya, morfem {lihat}, {ter-}, {sikat}, dan {-lah}.
b.      Morfem suprasegmental
Morfem suprasegmental adalah morfem yang terbentuk dari nada, tekanan, durasi, dan intonasi.

5)   Berdasarkan kehadirannya secara konkret dibedakan menjadi:
a)      Morfem wujud
Morfem wujud adalah morfem yang secara nyata ada.
b)     Morfem tanwujud
Morfem tanwujud tidak terdapat dalam bahasa Indonesia, tetapi ada dalam bahasa Inggris.

6)   Berdasarkan ciri semantik dibedakan menjadi:
a)      Morfem leksikal
Morfem leksikal adalah morfem yang di dalam dirinya, secara inhern, telah memiliki makna. Semua morfem dasar bebas, seperti {makan}, {pulang}, dan {pergi} termasuk morfem bermakna leksikal. Ciri morfem leksikal yaitu dapat digunakan langsung dalam pertuturan.
b)     Morfem tak bermakna leksikal
Morfem afiks, seperti {ber-}, {ke}, dan {ter-} termasuk morfem tak bermakna leksikal.  Ciri morfem tak bermakna leksikal yaitu tidak dapat digunakan langsung dalam pertuturan.

2.4    Morfem, Alomorf, dan Kata Dasar
Dalam bahasa ada bentuk (seperti kata) yang dapat “dipotong-potong” menjadi bagian yang lebih kecil, yang kemudian dapat dipotong lagi menjadi bagian yang lebih kecillagi sampai ke bentuk yang jika dipotong lagi tidak mempunyai makna. Kata memperbesar, misalnya, dapat dipotong sebagai berikut.
                        Mem-perbesar
                        Perbesar

Jika besar dipotong lagi, maka be- dan sar- masing-masing tidak mempunyai makna. Bentuk seperti mem-, per-, dan besar disebut morfem. Morfem yang dapat berdiri sendiri, seperti besar, dinamakan morfem bebas, sedangkan yang melekat pada bentuk lain, seperti mem- dan per-, dinamakan morfem terikat. Dengan batasan itu, maka sebuah morfem dapat berupa kata (seperti besar di atas), tetapi sebuah kata dapat terdiri atas satu morfem atau lebih. Contoh memperbesar di atas adalah satu kata yang memiliki tiga morfem, yakni dua morfem terikat mem- dan per- serta satu morfem yang kebetulan juga satu kata. Berikut ini beberapa contoh lain beserta keterangannya.

                        Membawa                   morfem bebas  : bawa
                                                            morfem terikat: mem-
                        Mendapat                    morfem bebas  : dapat
                                                            morfem terikat: men-
                        Pembuatan                  morfem bebas  : buat
                                                            Morfem terikat: pem—an

Pada contoh di atas kita temukan bentuk mem- dan men- yang masing-masing dilekatkan pada bawa dan dapat. Baik mem- maupun men- sebenarnya mempunyai fungsi dan makna yang sama, yakni merupakan unsur yang membentuk verba aktif. Perbedaan dalam wujudnya itu ditentukan oleh fonem pertama yang mengawali kata bawa dan dapat; jika fonem yang mengikutinya berupa fonem /b/, maka bentuknya adalah mem-, tetapi jika fonem pertamanya /d/ maka bentuknya men-. Anggota satu morfem yang wujudnya berbeda, tetapi mempunyai fungsi dan makna yang sama dinamakan alomorf. Dengan demikian mem- dan men- adalah dua alomorf dari satu morfem yang sama yakni {meng-}. Di samping {mem-} dan {men-} masih ada alomorf meny- (seperti dalam menyingkir), meng-(seperti dalam mengambil), me- (seperti dalam melamar), dan menge- (seperti dalam mengecat). Dalam buku ini dipilih menge- untuk mewakili semua alomorf itu karena bentuk meng- itu terdapat di muka dasar yang diawali dengan salah satu dari keenam vokal Indonesia atau dengan konsonan /k/, /g/, /h/, /x/ sehingga meng- merupakan bentuk yang paling luas distribusinya. Itulah sebabnya dalam bentuk tata bahasa ini, demi kemudahan pengajaran, dipilih bentuk meng-.
Bentuk seperti duduk, darat, dan temu dapat dipakai sebagai dasar untuk membentuk kata. Dari ketiga bentuk ini diperoleh kata-kata berikut.

                                    Duduki                        menduduki

Duduk                                                                                                 pendudukan

                                    Dudukkan                   mendudukkan

                                                                        mendarat

darat                                                                                                    pendaratan

                                    daratkan                      mendaratkan

                                                                        bertemu

temu                                                                                                    pertemuan
                       
                                    petemukan                   mempertemukan

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa menduduki dan mendudukkan diturunkan secara bertahap dari dasar duduk, mendarat dari dasar darat, bertemu dari dasar temu, dan mempertemukan dari dasar pertemukan. Selanjutnya, kata seperti pendudukan, pendaratan, dan pertemuan tidak dibentuk atau diturunkan dari dasar duduk, darat, dan temu, tetapi dari dasar menduduki, mendarat, dan bertemu. Dengan kata lain, kata yang diturunkan dari dasar tertentu dapat pula menjadi dasar pembentukan kata turunan yang lain. Jadi, urutan pembentukannya dapat dilihat pada bagan berikut (Alwi dkk, 2003: 28—30).

Duduk                              menduduki                  pendudukan
Darat                                mendarat                     pendaratan
Temu                                bertemu                       pertemuan





























BAB III
PENUTUP


3.1 Simpulan
Morfologi merupakan bagian dari ilmu bahasa atau linguistik. Ilmu bahasa secara singkat dapat dijelaskan sebagai ilmu yang mempelajari seluk beluk bahasa secara ilmiah, atau secara scientific. Seperti halnya ilmu-ilmu lain, ilmu bahasa bersifat umum, maksudnya tidak terkait dengan sesuatu bahasa. Namun demikian, berdasarkan bahasa yang dipelajari, ilmu bahasa dapat dibedakan menjadi ilmu bahasa Jawa, ialah ilmu yang mempelajari secara khusus bahasa Jawa, ilmu bahasa Sunda, ialah ilmu yang khusus mempelajari bahasa Sunda, dan ilmu bahasa yang khusus mempelajari bahasa Indonesia, di sini disebut ilmu bahasa Indonesia.
Konsep bahwa dapat tidaknya sebuah dasar diberi proses morfologi tertentu bergantung pada komponen makna yang dimiliki sebuah bentuk dasar, akan dicoba digunakan untuk melihat bagaimana proses pembentukan kata dalam bahasa Indonesia. Pendekatan ini  diharapkan dapat menjadi “berani”nya penutur bahasa Indonesia untuk menggunakan bentuk-bentuk yang secara gramatikal dan semantik berterima, tetapi dewasa ini belum lazim. Misalnya, kini orang alih-alih menggunakan bentuk berpesawat atau berbus, malah menggunakan bentuk naik pesawat dan naik bus.


3.2 Saran
Dalam penyusunan makalah ini, kami selaku penyusun tentunya mengalami banyak kekeliruan dan kesalahan-kesalahan baik dalam ejaan, pilihan kata, sistematika penulisan maupun penggunaan bahasa yang kurang di pahami. Untukitu kami mohon kritik dan sarannya untuk masukan kami sebagai pembelajaran di waktu yang akan datang.



DAFTAR PUSTAKA


Alwi, Hasan, dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.

Chaer, Abdul. 2008. Morfologi Bahasa Indonesia (Pendekatan Proses). Jakarta:
Rineka Cipta.

Parera, Jos Daniel. 1990. Morfologi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Ramlan, M. 1987. Morfologi Satuan Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: CV
Karyono.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PUISI CORONA

CORONA Karya Asep Perdiansyah Corona datang menyerang Dunia menjadi tak tenang Tempat keramaian seketika menghilang Matahari b...