Senin, 27 November 2017

Makalah Kajian Stilistika Karya Sastra

I.        PENDAHULUAN

Pada bab ini akan dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan latar belakang masalah, tujuan, dan permasalahan. Pembahasan secara rinci dapat dikemukakan sebagai berikut.

1.1             Latar Belakang
Stilistika menjadi pembahasan dalam bidang sastra, baik sastra lama maupun modern. Dalam pengertian yang lebih luas sesungguhnya stilistika juga diperlukan bagi ilmu humaniora pada umumnya. Dikaitkan dengan masyarakat kotemporer di dalamnya terjadi perkembangan berbagai aspek kehidupan secara dinamis. Khususnya sebagai akibat kemajuan teknologi komunikasi, stilistika memasuki hampir keseluruhan aspek kehidupan manusia. Meskipun demikian khususnya dalam kaitannya dengan teori sastra stilistika kurang memperoleh perhatian. Pada umumnya stilistika lebih banyak dibicarakan dalam ilmu bahasa yaitu dalam bentuk deskripsi berbagai jenis gaya bahasa, sebagai majas.

Implikasinya logis yang ditimbulkan adalah pembicaraan stilistika dalam analisi terhadap karya sastra juga terbatas sebagai semata-mata deskripsi penggunaan khas bahasa seperti inversi, hiperbola, litotes, dan sebagainya. Fungsi dan kedudukan jenis-jenis gaya bahasa itu pun hampir sama. Perbedaanya terbatas sebagai kuantitatif misalnya, jenis gaya bahasa yang satu lebih banyak dibandingkan dengan yang lain. Kesimpulan yang diperoleh juga didasarkan atas perbedaan kuantitas tersebut bukan kualitas dan intensitasnya dalam menopang ide cerita secara keseluruhan. Makalah ini mencoba menguraikan materi stilistika secara teori yaitu konsep dasar, hakikat, pengertian, pendekatan, ruang lingkup, tujuan kajian stilistika, fungsi dan kegunaan stilistika dalam karya sastra, dan dasar analisis pengarang.




Permasalahan
1.                  Apa yang dimaksud stilistika?
2.                  Pendekatan apa saja yang digunakan di dalam teori stilistika?
3.                  Apa saja yang menjadi ruang lingkup pembahasan stilistika?
4.                  Apakah tujuan kajian stilistika?
5.                  Apa saja fungsi dan kegunaan stilistika dalam karya sastra?
6.                  bagaimanakah analisi pengarang dalam kajian stilistika?

1.2       Tujuan
1.                  Untuk mengetahui tentang pengertian stilistika.
2.                  Untuk mendeskripsikan macam-macam pendekatan stilistika.
3.                  Untuk mengetahui ruang lingkup pembahasan stilistika.
4.                  Untuk mengetahui tujuan kajian stilistika.
5.                  Untuk mengetahui fungsi dan kegunaan stilistika dalam karya sastra.


















II.               PEMBAHASAN

Pada bab ini akan dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan konsep, hakikat, pengertian, pendekatan, ruang lingkup, tujuan kajian stilistika, fungsi dan kegunaan stilistika dalam karya sastra, dan dasar analisis pengarang.

2.1       Konsep stilistika       
Dalam bahasa dan sastra stilistika merupakan bagian dari ilmu sastra, lebih sempit lagi, ilmu gaya bahasa dalam kaitannya dengan aspek aspek keindahan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), gaya memiliki beberapa ciri yaitu:
1.      kekuatan, kesanggupan, gaya dalam pengertian denotatif, misalnya gaya pegas gaya lentur, gaya tarik bumi.
2.      sikap, gerakan, seprti dalam tingkah laku, misalnya gaya tarik, gaya hidup.
3.      irama, lagu, seperti dalam music, misalnya gaya musik Barat.
4.      cara melakukan, seperti dalam olahraga, gaya renang, gaya dada.
5.      ragam, cara, seperti dalam bangunan, seperti bangunan gaya eropa.
6.      cara yang khas, seperti pemakaian bahasa dalam karya sastra, misalnya inversi.
Stilistika meneliti ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra, ciri-ciri yang membedakan atau mempertentangkannya dengan wacana nonsastra, meneliti deviasi terhadap tata bahasa sebagai sarana literer. Singkatnya, stilistika meneliti fungsi puitik suatu bahasa.
Dikaitkan dengan masyarakat kontemporer, di dalamnya terjadi perkembangan berbagai aspek kehidupan secara dinamis, khususnya sebagai akibat kemajuan teknologi komunikasi, stilistika memasuki hampir keseluruhan aspek kehidupan manusia Meskipun demikian, khususnya dalam kaitannya dengan teori sastra, stilistika kurang memperoleh perhatian. Pada umumnya stilistika lebih banyak dibicarakan dalam ilmu bahasa, yaitu dalam bentuk deskripsi berbagai jenis gaya bahasa.

2.2              Hakikat dan Pengertian Stilistika
Stilistika menurut Unar Yunus dalam Imron, 2008 : 4 yaitu studi mengenai pemakaian bahasa dalam karya sastra. Stilistika dipakai sebagai ilmu gabung yakni linguistik dan ilmu sastra. Menurut Leech dan Short dalam imron berpendapat stilistika adalah ilmu tentang wujud performansi kebahasaan khususnya yang terdapat dalam karya sastra.
Beberapa definisi yang perlu dipertimbangkan (kutha Ratna, 2007;236) sebagai berikut : Ilmu tentang gaya bahasa, Ilmu interdisipliner antara linguistik dengan sastra, Ilmu tentang penerapan kaidah-kaidah linguistik dalam penelitian gaya bahasa, Ilmu yang menyelidiki pemakaian bahasa dalam karya sastra, dan Ilmu yang menyelidiki pemakaian bahasa dalam karya sastra, dengan mempertimbangkan aspek-aspek keindahannya sekaligus latar belakang sosialnya.
Leech & Short mengungkapkan bahwa stilistika merupakan kajian tentang stile, kajian terhadap wujud performasi kebahasaan khususnya yang terdapat di teks-teks kesastraan. Kini dalam kajian akademik pendekatan stilistika sering dibedakan ke dalam kajian bahasa sastra dan nonsastra (Nurgiyantoro, 2014: 75).
Kajian stilistika dimaksudkan untuk menjelaskan fungsi keindahan penggunaan bentuk kebahasaan tertentu mulai dari aspek bunyi, leksikal, struktur, bahasa figuratif, sarana retorika sampai grafologi. Selain itu, kajian stilistika juga bertujuan untuk menentukan seberapa jauh dan dalam hal apa serta bagaimana pengarang mempergunakan tanda-tanda linguistik untuk memperoleh efek khusus (Nurgiyantoro, 2014: 75-76).

2.3       Pendekatan Stilistika
Pendekatan stilistika di dalam kritik sastra bertolak dari pandangan bahwa isi pokok karya sastra itu ada dua, yang pertama adalah bahasa dan kedua adalah isi yang berupa tema, pemikiran, dan falsafah. Pendekatan stilistika menganut paham bahwa unsur pokok sastra adalah bahasa. Bahasa yang digunakan dalam karya sastra itu mempunyai kaitan pula dengan sastrawan. Sastrawan mengerahkan kemampuan dan kreativitas masing-masing dalam menciptakan karya mereka. Dengan kata lain, pendekatan stilistika berarti asumsi dasar yang digunakan oleh kritikus dalam menilai suatu karya sastra ditinjau dari segi kebahasaannya.
2.3.1    Pendekatan Dualisme
Dualisme (dualism) berasal dari kata Latin yaitu duo (dua). Dualisme adalah ajaran yang menyatakan realitas itu terdiri dari dua substansi yang berlainan dan bertolak belakang. Masing-masing substansi bersifat unik dan tidak dapat direduksi, misalnya substansi adi kodrati dengan kodrati, Tuhan dengan alam semesta, roh dengan materi, jiwa dengan badan dll. Ada pula yang mengatakan bahwa dualisme adalah ajaran yang menggabungkan antara idealisme dan materialisme, dengan mengatakan bahwa alam wujud ini terdiri dari dua hakikat sebagai sumber yaitu hakikat materi dan ruhani.
Dapat dikatakan pula bahwa dualisme adalah paham yang memiliki ajaran bahwa segala sesuatu yang ada, bersumber dari dua hakikat atau substansi yang berdiri sendiri-sendiri. Orang yang pertama kali menggunakan konsep dualisme adalah Thomas Hyde (1700), yang mengungkapkan bahwa antara zat dan kesadaran (pikiran) yang berbeda secara subtantif. Jadi adanya segala sesuatu terdiri dari dua hal yaitu zat dan pikiran. Yang termasuk dalam aliran ini adalah Plato (427-347 SM), yang mengatakan bahwa dunia lahir adalah dunia pengalaman yang selalu berubah-ubah dan berwarna-warni. Semua itu adalah bayangan dari dunia idea. Sebagai bayangan, hakikatnya hanya tiruan dari yang asli yaitu idea. Karenanya maka dunia ini berubah-ubah dan bermacam-macam sebab hanyalah merupakan tiruan yang tidak sempurna dari idea yang sifatnya bagi dunia pengalaman. Barang-barang yang ada di dunia ini semua ada contohnya yang ideal di dunia idea sana (dunia idea).
Lebih lanjut Plato mengakui adanya dua substansi yang masing-masing mandiri dan tidak saling bergantung yakni dunia yang dapat diindera dan dunia yang dapat dimengerti, dunia tipe kedua adalah dunia idea yang bersifat kekal dan hanya ada satu. Sedang dunia tipe pertama adalah dunia nyata yang selalu berubah dan tak sempurna. Apa yang dikatakan Plato dapat dimengerti seperti yang dibahasakan oleh Surajiyo (2005), bahwa dia membedakan antara dunia indera (dunia bayang-bayang) dan dunia ide (dunia yang terbuka bagi rasio manusia). Rene Descartes (1596-1650 M) seorang filsuf Prancis, mengatakan bahwa pembeda antara dua substansi yaitu substansi pikiran dan substansi luasan (badan). Jiwa dan badan merupakan dua sebstansi terpisah meskipun didalam diri manusia mereka berhubungan sangat erat.
Dapat dimengerti bahwa dia membedakan antara substansi pikiran dan substansi keluasan (badan). Maka menurutnya yang bersifat nyata adalah pikiran. Sebab dengan berpikirlah maka sesuatu lantas ada, cogito ergo sum! (saya berpikir maka saya ada). Leibniz (1646-1716) yang membedakan antara dunia yang sesungguhnya dan dunia yang mungkin. Immanuel Kant (1724-1804) yang membedakan antara dunia gejala (fenomena) dan dunia hakiki (noumena).
Pedekatan Dualisme dalam stile, Stile biasanya diidentifikasikan sebagai perbedaan antara apa yang dikatakan dan bagaimana cara mengatakan, atau antara unsur isi dan bentuk teks. Di satu sisi, unsur isi menunjuk sisi lain, unsur bentuk adalah variasi cara penyajian informasi yang berkualitas estetis atau yang mampu membangkitkan tanggapan emosional pembaca. Kelompok yang berpandangan bahwa stile merupakan cara menulis, cara berekspresi dan membedakannya dengan unsur bentuk dan isi disebut (aliran) dualisme.
Stile dapat dipisahkan dan dibekan dengan aspek muatan makna.Aspek muatan makna, isi, gagasan, pikiran, dan perasaan yang sama dapat diekspresikan ke dalam bentuk ungkapan bahasa yang berbeda. Itu artinya adalah stile berbeda. Sebuah pesan dapat diungkapkan dengan cara lugas, tanpa “stile” yang berpretensi untuk mencari efek estetis, atau sebaliknya dengan memanfaatkan bentuk-bentuk bahasa figuratif. Cara penuturan yang demikian pun pada hakikatnya juga merupakan suatu teknik berstile juga, yaitu cara berekspresi secara lugas, apa adanya, atau sebaliknya, dengan cara didayakan dengan ungkapan-ungkapan indah.
Masalah stile adalah masalah pilihan cara pengungkapan (bahasa) yang tidak perlu melibatkan muatan makna. Muatan makna adalah hal yang berbeda. Artinya, orang boleh memilih cara-cara berekspresi sesuai dengan yang diinginkannya. Muatan makna bisa tetap sama namun, seseorang boleh memilih bentuk pengucapan yang berbeda-beda. Jika ada dua orang yang mengekspresikan hal yang sama, lazimnya stile yang dipakai tidak sama dan itu haruslah dipandang sebagai stile yang berbeda. Bahkan sebuah teks kesastraan dapat diubah dengan stile yang berbeda tanpa mengubah substansi makna. Dari segi muatan makna yang dikandung hal itu dipandang tidak berbda namun, dari sisi stile itu adalah sesuatu yang berbeda.
Contoh. Misalnya sebuah fakta : “Ada gadis desa yang cantik dan diminati banyak pemuda”. Ini adalah aspek isi, sedang cara mengungkapkan dapat bervariasi. Misalnya sebagai berikut. (i) Gadis desa yang cantik itu disenangi banyak pemuda. (ii) Gadis desa yang cantik bagaikan semerbak bunga harum mewangi itu mengundang para pemuda untuk memperebutkannya. (iii)Bunga desa yang menawan itu membuat para pemuda memikirkan untuk memilikinya. (iv) Bunga desa yang semerbak mewangi terbawa angin itu mengundang banyak kumbang datang yang ingin mengucup sari madunya. (v) dan lain-lain dengan banyak kemungkinan.
Sebagai konsekuensi pandangan ini kita dapat mengubah sebuah teks sastra menjadi teks lain tanpa mengubah substansi makna. Demikian juga misalnya kita dapat mengubah teks fiksi yang naratif menjadi teks dialog seperti dalam drama atau sebaliknya mengubah teks dialog drama menjadi teks naratif-fiksi. Hasil kerja pengubahan itu juga menghasilkan teks-teks dengan stile yang berbeda dengan teks aslinya. Tugas pengubahan genre sastra menjadi genre yang berbeda itu banyak dilakukan di sekolah. Selain itu, terhadap puisi kita juga dapat membyat parafrasenya. Tugas seperti ini juga banyak dilakukan di sekolah dalam rangka memahami lebih baik sebuah puisi dan sekaligus melatih peserta didik mengembangkan stile sendiri. Sebagai contoh pembicaraan, misalnya kita ambil dua bait puisi “isi” Khairil anwar berikut.
Isa
Itu tubuh
mengucur darah
mengucur darah

rubuh
patah
....
Secara keseluruhan puisi itu berbicara tentang penderitaan Isa yang disalib untuk menebus dosa umat, sikap penyair dan dampaknya bagi dunia. Kedua bait puisi tersebut dapat diungkapkan dengan cara lain, yaitu dengan cara prosa atau dibuat parafrasenya. Misalnya : (i) Dari Tubuh orang yang disalib itu, terlihat ada banyak darah yang mengucur sampai-sampai orang itu rubuh tidak berdaya. (ii) Ada banyak darah yang mengucur dari tubuh orang yang disalib itu sampai-sampai ia tidak berdaya sama sekali. (iii) Orang yang disalib itu terlihat mengalami penderitaan yang luar biasa, tubuhnya mengucurkan banyak darah dan terlihat bahwa dia sudah tidak berdaya. Keempat kalimat tersebut harus dilihat sebagai stile yang berbeda walau substansi maknanya tidak berbeda.
2.3.2    Pendekatan Monisme
Monisme (monism) berasal dari kata Yunani yaitu monos (sendiri, tunggal) secara istilah monisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa unsur pokok dari segala sesuatu adalah unsur yang bersifat tunggal/ Esa. Unsur dasariah ini bisa berupa materi, pikiran, Allah, energi dll. Bagi kaum materialis unsur itu adalah materi, sedang bagi kaum idealis unsur itu roh atau ide. Orang yang mula-mula menggunakan terminologi monisme adalah Christian Wolff (1679-1754). Dalam aliran ini tidak dibedakan antara pikiran dan zat. Mereka hanya berbeda dalam gejala disebabkan proses yang berlainan namun mempunyai subtansi yang sama. Ibarat zat dan energi dalam teori relativitas Enstein, energi hanya merupakan bentuk lain dari zat, atau dengan kata lain bahwa aliran monisme menyatakan bahwa hanya ada satu kenyataan yang fundamental.
Adapun para filsuf yang menjadi tokoh dalam aliran ini antara lain: Thales (625-545 SM), yang menyatakan bahwa kenyataan yang terdalam adalah satu subtansi yaitu air. Pendapat ini yang disimpulkan oleh Aristoteles (384-322 SM) , yang mengatakan bahwa semuanya itu air. Air yang cair itu merupakan pangkal, pokok dan dasar (principle) segala-galanya. Semua barang terjadi dari air dan semuanya kembali kepada air pula. Bahkan bumi yang menjadi tempat tinggal manusia di dunia, sebagaian besar terdiri dari air yang terbentang luas di lautan dan di sungai-sungai. Bahkan dalam diri manusiapun, menurut dr Sagiran, unsur penyusunnya sebagian besar berasal dari air. Tidak heran jika Thales, berkonklusi bahwa segala sesuatu adalah air, karena memang semua mahluk hidup membutuhkan air dan jika tidak ada air maka tidak ada kehidupan.
Sementara itu Anaximandros (610-547 SM) menyatakan bahwa prinsip dasar alam haruslah dari jenis yang tak terhitung dan tak terbatas yang disebutnya sebagai apeiron yaitu suatu zat yang tak terhingga dan tak terbatas dan tidak dapat dirupakan dan tidak ada persamaannya dengan suatu apapun. Berbeda dengan gurunya Thales, Anaximandros, menyatakan bahwa dasar alam memang satu akan tetapi prinsip dasar tersebut bukanlah dari jenis benda alam seperti air. Karena menurutnya segala yang tampak (benda) terasa dibatasi oleh lawannya seperti panas dibatasi oleh yang dingin. Aperion yang dimaksud Anaximandros, oleh orang Islam disebutnya sebagai Allah. Jadi bisa dikatakan bahwa pendapat Anaximandros yang mengatakan bahwa terbentuknya alam dari jenis yang tak terbatas dan tak terhitung, dibentuk oleh Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini pula yang dikatakan Ahmad Syadali dan Mudzakir (1997) bahwa yang dimaksud aperion adalah Tuhan.
Anaximenes (585-494 SM), menyatakan bahwa barang yang asal itu mestilah satu yang ada dan tampak (yang dapat diindera). Barang yang asal itu yaitu udara. Udara itu adalah yang satu dan tidak terhingga. Karena udara menjadi sebab segala yang hidup. Jika tidak ada udara maka tidak ada yang hidup. Pikiran kearah itu barang kali dipengaruhi oleh gurunya Anaximandros, yang pernah menyatakan bahwa jiwa itu serupa dengan udara. Sebagai kesimpulan ajaranya dikatakan bahwa sebagaimana jiwa kita yang tidak lain dari udara, menyatukan tubuh kita. Demikian udara mengikat dunia ini menjadi satu. Sedang filsuf moderen yang menganut aliran ini adalah B. Spinoza yang berpendapat bahwa hanya ada satu substansi yaitu Tuhan. Dalam hal ini Tuhan diidentikan dengan alam (naturans naturata).
Pendekatan Monisme dalam stile. Berbeda halnya dengan pendekatan dualisme, pendekatan monisme tidak membedakan unsur bentuk dan isi serta memandang keduanya sebagai satu kesatuan yang erat. Pendekatan monisme beranggapan bahwa pemilihan isi sekaligus berarti pemilihan menentukan bentuk (Lecch & Short, 2007:17 dalam Nurgiyantoro). Demikian sebaliknya pemilihan bentuk sekaligus berarti pemilihan isi. Isi dan bentuk merupakan sebuah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sebuah isi, muatan makna, hanya dapat dan tepat diungkapkan dengan satu bentuk dan bentuk itulah yang dipilih oleh pengarang. Jika isi atau muatan makna tersebut disobaungkapkan dengan bentuk lain, muatan maknanya pasti akan berubah.
            Sebuah stile tidak mungkin diungkapkan dengan cara lain tanpa kehilangan nuansa makna. Tidak ada dua stile yang sama-sama memuat muatan makna yang sama. Jika sebuah teks dibuat parafrasenya atau diubah dengan cara lain, itu berarti juga mengubah muatan makna. Pengubahan teks yang bersudut pandang dia menjadi muatan makna. Pengubahan teks yang bersudut pandang dia menjadi aku, dan dari gaya aku menjadi dia sebagaimana dicontohkan sebelumnya, itu tidak dapat diterima karena berarti mengubah makna. Demikian pula membuat parafrase puisi. Puisi tidak dapat dibuat parafrasenya tanpa mengubah ketepatan makna, bahkan dapat menghilangkan makna penting, nuansa makna, atau jangkauan makna yang lebih luas.
            Sebagai konsekuensi pendekatan monisme yang demikian kita tidak mungkin menganalisi stile dalam suatu wacana. Kita tidak dibenarkan menganalisis aspek bahasa tanpa membicarakan makna. Selain itu stile yang dipilih oleh pengarang itu dipandang sebagai bentuk terbaik dari yang tersedia dalam bahasa itu. Sebenarnya dalam pendekatan dualisme pun kerja analisis juga tidak boleh mengabaikan konteks dan muatan makna. Muatan makna yang sama dapat diekspresikan ke dalam berbagai bentuk ungakapan. Stile justru dipandang sebagai bentuk terbaik dari berbagai kesejajarannya yang dimungkinkan.
2.2.3    Pendekatan Pluralisme
Pluralisme (Pluralism) berasal dari kata Pluralis (jamak). Aliran ini menyatakan bahwa realitas tidak terdiri dari satu substansi atau dua substansi tetapi banyak substansi yang bersifat independen satu sama lain. Sebagai konsekuensinya alam semesta pada dasarnya tidak memiliki kesatuan, kontinuitas, harmonis dan tatanan yang koheren, rasional, fundamental.
Didalamnya hanya terdapat pelbagi jenis tingkatan dan dimensi yang tidak dapat diredusir. Pandangan demikian mencangkup puluhan teori, beberapa diantaranya teori para filosuf yunani kuno yang menganggap kenyataan terdiri dari udara, tanah, api dan air. Dari pemahaman di atas dapat dikemukakan bahwa aliran ini tidak mengakui adanya satu substansi atau dua substansi melainkan banyak substansi, karena menurutnya manusia tidak hanya terdiri dari jasmani dan rohani tetapi juga tersusun dari api, tanah dan udara yang merupakan unsur substansial dari segala wujud.
Pluralisme adalah suatu paham atau pandangan hidup yang mengakui dan menerima adanya “kemajemukan” atau “keanekaragaman” dalam suatu kelompok masyarakat. kemajemukan dimaksud misalnya dilihat dari segi agama, suku, ras, adat-istiadat, dll. segi-segi inilah yang biasanya menjadi dasar pembentukan aneka macam kelompok lebih kecil, terbatas dan khas, serta yang mencirikhaskan dan membedakan kelompok yang satu dengan kelompok yang lain, dalam suatu kelompok masyarakat yang majemuk dan yang lebih besar atau lebih luas. misalnya masyarakat indonesia yang majemuk, yang terdiri dari pelbagai kelompok umat beragama, suku, dan ras, yang memiliki aneka macam budaya atau adat-istiadat. begitu pula masyarakat maluku yang majemuk, ataupun masyarakat aru yang majemuk.
Penerimaan kemajemukan berarti menerima adanya perbedaan. menerima perbedaan bukan berarti menyamaratakan, tetapi justeru mengakui bahwa ada hal atau ada hal-hal yang tidak sama. menerima kemajemukan (misalnya dalam bidang agama) bukanlah berarti bahwa membuat “penggabungan gado-gado”, dimana kekhasan masing-masing terlebur atau hilang. kemajemukan juga bukan berarti “tercampur baur” dalam satu “frame” atau “adonan”. justeru di dalam pluralisme atau kemajemukan, kekhasan yang membedakan hal (agama) yang satu dengan yang lain tetap ada dan tetap dipertahankan.
Pluralism berbeda dengan sinkritisme (penggabungan) dan assimilasi atau akulturasi (penyingkiran). juga pluralisme tidak persis sama dengan inkulturasi, kendati di dalam pluralisme atau kemajemukan bisa terjadi inkulturasi dimana keaslian tetap dipertahankan.
Para filsuf yang termasuk dalam aliran ini antara lain: Empedakles (490-430 SM), yang menyatakan hakikat kenyataan terdiri dari empat unsur, yaitu api, udara, air dan tanah. Anaxogoras (500-428 SM), yang menyatakan hakikat kenyataan terdiri dari unsur-unsur yang tidak terhitung banyaknya, sebab jumlah sifat benda dan semuanya dikuasai oleh suatu tenaga yang dinamakannodus yaitu suatu zat yang paling halus yang memiliki sifat pandai bergerak dan mengatur.
Dasar Pluralisme(penerimaan kemajemukan)
1.        Dasar Filosofis : Kemanusiaan
Penerimaan kemajemukan dalam paham pluralisme adalah sesuatu yang mutlak, tidak dapat ditawar-tawar. hal ini merupakan konsekwensi dari kemanusiaan. manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang mempunyai harkat dan martabat yang sama, mempunyai unsur-unsur essensial (inti sari) serta tujuan atau cita-cita hidup terdalam yang sama, yakni damai sejahtera lahir dan batin. namun dari lain sisi, manusia berbeda satu sama lain, baik secara individual atau perorangan maupun komunal atau kelompok, dari segi eksistensi atau perwujudan/pengungkapan diri, tata hidup dan tujuan hidup. Sedangkan secara faktual dan historis, manusia yang sama secara essensial dan berbeda secara eksistensial itu pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang hidup bersama, saling membutuhkan, dan saling tergantung satu sama lain, baik secara perorangan/individual maupun secara kelompok/komunal. oleh sebab itu suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, kemajemukan harus diterima karena dan demi kemanusiaan. pluralisme atau adanya dan penerimaan akan kemajemukan merupakan konsekwensi dari kemanusiaan. Adanya kemajemukan merupakan suatu fakta sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang tidak dapat ditolak dalam sejarah hidup manusia, baik secara lokal maupun nasional dan internasional.
2.      Dasar Sosial Kemasyarakatan dan Budaya
Pengakuan akan adanya dan penerimaan akan kemajemukan merupakan konsekwensi dan konsistensi komitmen sosial maupun konstitusional sebagai suatu masyarakat (suku, bangsa, bahkan dunia), yang berbudaya.kemajemukan merupakan konsekwensi dari hakekat manusia sebagai makhluk sosial, yang dari satu segi memiliki kesamaan essensial tetapi dari lain segi ada perbedaan eksistensial, maka pada hakekatnya adanya dan kekhasan atau identitas suatu kelompok masyarakat (entah lokal, nasional, dan internasional) akan hilang bila tidak ada atau ditiadakan atau ditolak kemajemukan. jadi kemajemukan merupakan unsur penentu bagi adanya dan kekhasan dari suatu masyarakat. oleh sebab itu dalam sejarah pembentukan dan kehidupan setiap kelompok masyarakat senantiasa ada kesadaran dan pengakuan akan adanya kemajemukan, serta ada komitmen untuk menerima dan tetap mempertahankan kemajemukan secara konsekwen dan konsisten.
Misalnya sejarah perjuangan kehidupan masyarakat indoensia, baik secara lokal maupun nasional, telah dicirikhaskan dengan kesadaran akan adanya serta komitmen akan penerimaan kemajemukan secara konsekwen dan konsisten. sumpah pemuda serta pelbagai macam perjuangan untuk mendirikan dan mempertahankan negara kesatuan republik indonesia (nkri) dari masa ke masa merupakan fakta sejarah nasional bangsa indonesia akan adanya serta komitmen untuk menerima dan mempertahankan kemajemukan masyarakat indonesia. begitu pula pancasila dan uud 45 mencerminkan kesadaran, komitmen, pandangan hidup serta sikap hidup yang sama. pancasila dan uud 45 merupakan bukti konstitusional nasional tentang pluralisme di indonesia.
3.             Dasar Teologis
Dalam suatu masyarakat agamawi – seperti masyarakat indonesia –, kendati ada pelbagai macam agama yang berbeda dalam pelbagai aspek atau unsur-unsurnya, namun kemajemukan seyogyanya harus diterima, sebagai konsekwensi dari nilai-nilai luhur dan gambaran “sang ilahi” (allah) yang maha baik serta cita-cita atau tujuan mulia dari setiap agama dan para penganutnya.
Dari hasil kajian, misalnya oleh ilmu perbandingan perbandingan agama-agama, dapat kita ketahui bahwa:
–       Segi ada kesamaan. misalnya dalam setiap agama ada gambaran dan ajaran tentang “sang ilahi” (“allah” atau sebutan lainnya) sebagai yang maha baik, maha sempurna, maha kuasa, asal dan tujuan hidup akhir dari manusia dan segala sesuatu yang baik. juga ada gambaran tentang “surga”, kebahagiaan, ketenteraman, damai sejahtera, dll yang merupakan cita-cita dan tujuan akhir hidup setiap orang.
–       Segi lain ada rupa-rupa perbedaan karena adanya perbedaan persepsi serta keterbatasan manusia dalam upaya “mendalami” dan memahami serta menjalin hubungan dengan “sang ilahi” yang tidak terbatas dan tidak terjangkau daya tangkap insani manusia.
oleh sebab itu timbulah aneka macam iman kepercayaan dan agama. maka sudah seyogyanya kemajemukan agama harus diterima, sebagai konsekwensi dari adanya iman dan agama.
4.              Konsekuensi dan manfaat dari pluralisme (adanya dan penerimaan kemajemukan)
dengan adanya dan penerimaan akan kemajemukan, maka dengan sendirinya harus:
  1. Ditolak pelbagai paham, sikap dan praktek hidup yang mengandung unsur-unsur diskriminasi, fanatisme, premordialisme dan kekerasan atau terorisme.
  2. Dijamin penuh kebebasan dan keadilan.
  3. Setiap kelompok (maupun oknum anggota kelompok) yang berbeda saling :Memberi ruang atau kesempatan untuk mewujudkan dan mengembangkan “diri”nya dan cita-cita atau tujuan hidupnya masing-masing sebagaimana adanya dan mestinya, menghargai / menghormati, belajar untuk memahami dengan lebih baik, menunjang dan memperkaya.
  4. Perbedaan tidak perlu dan tidak boleh dilihat dan dijadikan sebagai “sumber” pertentangan dan perpecahan, tetapi sebagai kekayaan dan pendorong untuk kerukunan dan perdamaian serta kesatuan dan kerjasama.
Beberapa kebutuhan atau cara untuk memelihara kemajemukan secara internal penguatan internal melalui :
–       Pendalaman dan pemahaman identitas sendiri dengan lebih tepat, mendalam dan lengkap misalnya, apabila seseorang atau sekelompok umat beragama mempunyai pemahaman yang salah, atau keliru dan tidak lengkap tentang agama dan iman yang diwarisi, akan menimbulkan penyimpangan dan ekstrimisme atau fanatisme yang salah, baik pada tataran konsep atau pemahaman dan keyakinan (batiniah) maupun pada tataran praksis atau sikap dan tindakan dalam hidup (lahiriah). hal ini tentu akan sangat mengganggu keharmonisan, kerukunan, toleransi, ketenteraman, kedamaian, persekutuan dan kerjasama dalam antar maupun inter umat umat beragama. kemajemukan akan terganggu dan sulit diterima oleh orang-orang sedemikian. oleh sebab itu pendalaman agama dan iman secara tepat dan lengkap.
–          Pendewasaan dan peningkatan kwalitas diri (sebagai manusia pada umumnya maupun secara khusus sebagai orang beragama dan beriman, beradat dan berbudaya, berakhlak dan bermoral, berbangsa dan bernegara) melalui pengajaran, pelatihan dan pembinaan untuk meningkatan penetahuan, ketrampilan dan kepribadian, dengan penekanan pada pengakaran nilai-nilai hidup (kemanusiaan, keagamaan/keimanan, kebudayaan, dan kemasyarakatan/ kenegaraan) serta penerapannya dalam parktek hidup sehari-hari.
Bila orang sungguh-sungguh memiliki nilai-nilai hidup (misalnya kemanusiaan dan keagamaan serta keimanan) secara benar, utuh, mendalam, konsekwen dan konsisten, dalam arti memahami, menghayati dan mengamalkan atau mewujudkan nilai-nilai tersebut secara memadai, matang dan baik kepribadiannya dari pelbagai aspek, maka keharmonisan, kerukunan, kedamaian, persatuan dan kerjasama dalam kemajemukan akan terjamin selalu.
– Revitalisasi (pemantapan “diri”, posisi, peran/fungsi/makna) melalui: introspeksi, koreksi atau pembaharuan, pelestarian dan pengembangan internal secara kontekstual dan berkelanjutan.
Sistem-sistem nilai dan praktek hidup seperti agama, adat-istiadat dll pada dasarnya bersifat fungsional dan kontekstual dalam sejarah hidup manusia yang berubah dari masa ke masa. oleh sebab itu hal-hal tersebut yang membuat adanya kemajemukan dalam suatu masyarakat senantiasa perlu diteropongi secara kritis dari dalam, dikoreksi dan diperbaharui, dilestarikan dan dikembangkan secara kontekstual dan berkelanjutan seiring sejalan dengan perubahan zaman. hal ini mutlak perlu agar sistim-sistim yang ada mempunyai tempat dan makna serta berdaya-guna dalam kehidupan manusia secara memadai.
secara eksternal :
  1. Pengenalan/pendalaman dan pemahaman satu sama lain melalui dialog (komunikasi), keterbukaan dan proses belajar timbal balik, secara proporsional.
  2. Membangun hidup bersama yang rukun dan toleran dalam suasana persaudaraan lintas kelompok yang berbeda secara berkelanjutan.
  3. Menanamkan dan mengembangkan kejujuran, ketulusan dan kepercayaan satu sama lain.
  4. Mencari dan mengembangkan bersama “simpul” kerukunan dan kesatuan dalam kemajemukan.
  5. Mengembangkan solidaritas soslal dan persaudaraan sejati lintas kelompok yang berbeda (agama, suku, ras, dll) dalam tindakan konkrit atau praktek hidup yang nyata dan aktual.
  6. Membangun kerjasama lintas kelompok yang berbeda dalam bidang pendidikan (pengajaran, pelatihan dan pembinaan formal maupun non-fromal), ekonomi, sosial karitatif, sosial budaya dan politik.
Pendekatan ini memiliki sejumlah komponen yang menjadi bagian stile sebuah penuturan. Pendekatan pluralisme mendasarkan diri pada fungsi-fungsi bahasa, khususnya fungsi bahasa menurut Jakobson yang terdiri dari enam macam, yaitu fungsi referensial, emotif, konatif, patik, puitis, dan metalinguistik yang sebagaimana sejajar dengan enam faktor bahasa.
Pendekatan pluralisme berangkat dari pandangan Halliday yang membedakan bahasa kedalam puisi, yaitu puisi ideasional, tekstual, dan interpersonal (Leeech & Short, 2007:25-26). Puisi ideasional dan tekstual dapat disejajarkan dengan isi dan bentuk dengan pendekatan dualisme. Fungsi ideasional sejajar dengan aspek muatan makna, sedang fungsi tekstual adalah stle, bentuk bahasa yang dipilih dan dapat diubah-ubah. Fungsi interpersonal menyangkut hubungan antara bahasa dan pemakainya yang dapat meliputi fungsi afektif, emotif, dan persuatif. Fungsi yang ketiga tidak ditemukan dalam pandangan dualisme.
2.4       Ruang Lingkup Penelitian Stilistika
Ruang lingkup penelitian stilistika sangat luas (Hough, 1972:31-39), dianggap sebagai  tugas yang tidak mungkin untuk dilakukan, lebih-lebih apabila dikaitkan dengan pengertian gaya bahasa secara luas, yaitu bahasa itu sendiri, karya sastra, karya seni, dan bahasa sehari-hari, termasuk ilmu pengetahuan.
Untuk membatasinya ruang lingkup dibedakan menjadi dua macam, yaitu a) ruang lingkup dalam kaitannya dengan objek stilistika itu sendiri,dan b) ruang lingkup  dalam kaitannya dengan objek yang mungkin dilakukan dalam suatu aktivas penelitian. Di antara tiga genre sastra modern, puisilah yang paling sering digunakan sebagai objek penelitian stilistika. Ketiga genre jelas mempermasalahkan bahasa. Meskipun demikian, ketiganya mempunyai perbedaan, yang dengan sendirinya merupakan ciri utama dalam kaitannya dengan penggalian sumber sekaligus pembatasan jangkauan penelitian. Ciri khas puisi adalah kepadatan pemakain bahasa sehingga paling besar kemungkinannya untuk menampilkan ciri-ciri stilistika. Ciri khas prosa adalah plot, sedangkan ciri khas drama adalah dialog.Oleh karena itulah, unsur-unsur gaya bahasa dalam kedua genre terakhir harus dicari dalam kaitannya dengan plot dan dialog.
Penelitiandibedakanmenjadiduamacamyaitustilistikasastra lama danstilistikasastra modern.Sastra lama adalahkaryasastra yang menggunakanbahasadaerah, sedangkansastra modern adalahkarya-karya yang menggunakanbahasa Indonesia.Padaumumnyadisepakatibahwasastra Indonesia modern mulaiabad ke-20.Meskipundemikiansastra lama seperti di Bali sampaisekarangmasihditulis, tetapjeniskaryasastrainitetapmerupakanwilayahkajiansastra lama.
Denganmelihatluasnyaobjekpenelitianmakauntukmembatasinyaperludipertimbangkanpembagianwilayah-wilayahkajian, baikdalamkaitannyadenganeksistensikaryasastraitusendirimaupunpengarangsebagaipencipta.Dikaitkandenganobjeknya, makaruang yang paling sempitadalahkaryasastra yang secaraotonom, sepertisebuahpuisi, cerpen, novel, drama, dansebagainya.Satu bait puisi yang terdiriatasbeberapabarisdapatdianalisisdarisegigayabahasasebagaianalisisstilistika. Nilaianalisissamadengansebuah novel yang terdiriatasseribuhalaman, tergantungdarikualitaspemahamannya.
Ruanglingkup paling jelasadalahdeskripsigayasebagaimanasidahsangatseringdilakukan yang padaumumyadisebutsebagaianalisismajas. Berbagaijenisgayadideskripsikansekaligusdengancontoh-contohnya, sepertiinversi, hiperbola, litotes, dansebagainya.
Padaumumnyajenispenelitianinidibedakanmenjadiduamacamyaitu.
a.       Pembicaraangayabahasasecarakhusus.
b.      Gaya bahasadalamkaitannyadengansebuahkarya, sehinggagayamerupakanbabatausubbabtertentu.
Stilistikasastraharusmemberikanartiterhadapkarya.Olehkarenaitulah, deskripsi yang sudahadaharusdikembangkankestruktursosiokulturalsehinggagayaberfungsiuntukmemberikanmaknabukansemata-mataornamen.
Gaya bahasaadalahekspresilinguistikbaik di dalampuisimaupunprosa (cerpen, novel, dan drama) menurut Abrams (1981: 190-193 ;noth 190:344) secarateoritispenelitiandibedakanmenjadiduamacamyaitupenelitiantradisionaldan modern. Penelitiantradisionaldipengaruhiolehdikotomiisidanbentuk.,apadanbagaimanacaramelukiskansuatuobjekisimeliputiinformasi, pesan, danmakna professional. Sedangkanbentukadalahgayabahasaitusendiri. Stilistika modern menganalisiciri-ciri formal, diantaranyafonologi, sintaksis, leksikal, danretorika.Secarapraktiskhususnyadalamkaryasastra, ruangingkupstilistikaadalahdeskripsipenggunaanbahasasecarakhas.
2.5       Tujuan Kajian Stilistika
            Analisis stilistika biasanya dimaksudkan untuk menerangkan sesuatu yang pada umumnya dalam dunia kesastraan untuk menerangkan hubungan bahasa dengan fungsi artistik dan maknanya (Leech dan Short, 2007: 11; Wellek dan Warren, 1989: 180).
            Kajian stilistika dimaksudkan untuk menjelaskan fungsi keindahan penggunaan bentuk kebahasaan tertentu mulai dari aspek bunyi, leksikal, struktur, bahasa figuratif, sarana retorika, sampai grafologi.  Di samping itu, kajian stilistika dapat juga bertujuan untuk menentukan seberapa jauh dan dalam hal apa serta bagaimana pengarang mempergunakan tanda-tanda lingustik untuk memperoleh efek khusus.
Kajianstilistikadapatjugabertujuanuntukmenentukansebarajauhdandalamhalapasertabagaimanapengarangmempergunakantanda-tanda linguistic untukmemperolehefekkhususatauefekestetis yang akandicapailewatpemilihanbentuk-bentukkebahasaantersebut. Kajianstilistikapadahakikatnyaadalahaktivitasmengeksplorasibhasaterutamamengeksplorasipenggunaanbahasa. (Simson 2004:3).
Tujuankajianstilistikakesastraanmisalnyadapatdilakukandengan (mengajukandan) menjawabpertanyaan-pertanyaanseperti “mengapapengarangdalammengekspresikandirinyamemilihcarakhusus?” atau “apakahpemilihanbentuk-bentukabahasatertentudapatmemabngkitkanestetis?” dengandemikianstilistikakesastraanmerupakansebuahpendakatankaryasastra (Abrams 1999:35) jikakajianitudilakukanpadabahasasastra.
2.6       Fungsi dan Kegunaan Stilistika Dalam Karya Sastra
Dikaitkan dengan genre utama sastra yaitu puisi, prosa dan drama, gaya bahasa paling dominan dalam puisi. Gaya dengan demikian mendominasi struktur puisi. Dengan kalimat lain, puisi seolah-seolah merupakan struktur gaya bahasa selain puisi naratif, puisi pada dasarnya tidak menampilkan cerita puisi hanya melukiskan tema,irama, rima, dan gaya bahasa itu sendiri. Dengan cara berbeda puisi konkret puisi konkret harus dipahami dalam kaitannya dengan struktur visualisasi, di dalamnya kata-kata dianggap tidak mampu untuk mewakili ide pengarang. Olehkarena itulah kata-kata harus dikembalikan pada suku kata, huruf dan bunyi bahkan sebagai citra tertentu. Harus diakui bahwa Indonesia kaya dengan jenis sastra terikat, baik sastra lama maupun modern.
Gaya bahasa sebagai sistem
Unsur utama karya sastra adalah bahasa. Baik bahasa lisan maupun bahasa tulisan adalah alat untuk memisahkan sekaligus menunjukkan keumuman lepas dari unsur-unsur yang membangunnya. Keseluruhan kehidupan ini adalah bahasa dapat diwujudkan dan dipahami melalui bahasa. Di samping sebagai sistem tanda, karya sastra adalah sistem komunikasi. Baik sebagai sistem makro maupun mikro.
medium utama karya sastra jelas bahasa, baik lisan maupun tulisan. Tanpa bahasa tidak ada karya sastra. Meskipun demikian system sastra tidak seketat system bahasa. System terikat dengan tata bahasa (fonologi, morfologi, sintaksis), ejaan (penggunaan huruf, penulisan huruf, penulisan kata, penulisan usur serapan, penggunaan tanda-tanda baca, dan sebagainya).  Dalam penggunaanya misalnya ada bahasa baku, bahasa ilmiah, bahasa dengan makna yang relative sama pada setiap orang, sehingga diharapkan tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda, baik antara pengirim dengan penerima maupun di antara para penerima itu sendiri. Sebaliknya dalam karya sastra sebagai tata sastra sistemnya terbuka. Oleh karena itulah penulis dimungkinkan untuk memanipulasi sistem bahasa, menyembunyikan makna yang sesungguhnya bahkan menciptakan segala sesuatu yang sebelumnya belum pernah ada. Untuk mencapai kualitas estetis penulis memiliki kebebasan yang disebut sebagai kebebasan penyair. Berbeda dengan bahasa di dalamnya terjadi perbedaan yang jelas anatara sistem singkronik dan diakronik sebaliknya dalam sastra justru terjadi hubungan saling meliputi sebagai sistem dialektika.
Fungsi utama bahasa adalah menyajikan informasi sebagaimana dimaksudkan oleh enulis, pembawa pesan pada umumnya. Oleh karena sifatnya berupa informasi maka tanggapan terhadapnya didasarkan atas kemampuan bahasa formal, bahasa dengan sistem tertutup. Oleh karena itulah susunan kata-kata dan kalimatnya harus baku sesuai dengan tata bahasa. Sebaliknya dalam karya sastra, bahasa merupakan representasi, perwakilan ide-ide penulis dan struktur social yang melatarbelakanginya. Sebagai perwakilan maka pada dasarnya terjadi kebebasan yang seluas-luasnya bagi bahasa itu sendiri untuk menterjemahkan ide tersebut kepada pembacanya.
Tujuan utama gaya bahasa adalah menghadirkan aspek keindahan. Tujuan ini terjadi baik dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa sebagai sistem model pertama, dalam ruang lingkup kreativitas sastra. Meskipun demikian kualitas estetis menjadi pokok permasalahan pada tataran bahasa kedua sebab dalam sastralah melalui metode dan teknik diungkapkan secara rinci ciri-ciri bahasa yang disebut indah, sebagai stilistika.
Gaya lahir secara bersistem. Tidak ada gaya yang lahir secara tiba-tiba. Karya sastra adalah hasil imajinasi, tetapi imajinasi tidak lahir dari kekosongan, melainkan memiliki akar tempatnya berpijak, asal-usulnya dapat dicari. Gaya sebagai sistem berarti terjadinya cara-cara tertentu melalui mekanisme tertentu. Dalam ilmu alamiah dengan adanya sistem tertutup maka peristiwa berikutnya seolah-olah dapat diprediksi­
Gaya bahasa dan genre sastra
Stilistika berkaitan erat dengan genre. Sebagai intitusi genre seolah-olah memaksa pengarang untuk menciptakan jenis yang sesuai dengan karya yang ditulis. Seorang penyair sejak semula sudah berpikir bahwa bahasa yang digunakan adalah bahasa puisi, bahasa dengan tingkat seleksi yang tinggi. Seorang novelis harus mempersiapkan jumlah bahasa yang jauh lebih besar, bahasa bebas. Seorang penulis drama harus mempersiapkan bahasa yang didominasi oleh dialog. Penyair, novelis, dan dramawan menggunakan bahasa yang relatif sama tetapi dengan gaya bahasa berbeda. Dikaitkan dengan gaya bahasa secara umum di satu pihak, gaya sebagai semata-mata pilihan kata-kata di pihak lain, maka jelas pembagian sastra utama adalah gaya itu sendiri. Seperti di atas pada dasarnya tidak ada indikasi apa pun yang secara khas menunjukkan perbedaan antara bahasa sastra dengan bahasa sehari-hari di satu pihak, antara bahasa puisi, prosa, dan drama di pihak lain. Dengan kalimat lain genre lahir melalui penggunaan, pilihan kata, yaitu gaya bahasa itu sendiri. Suatu teks yang terdiri atas empat, lima, enam baris, yang disebut sebagai puisi, apabila ditulis secara linear akan menjadi prosa. Prosa apabila ditulis dengan menggunakan dialog, akan berubah menjadi drama. Puisi, prosa, dan drama ditulis atas dasar gaya tertentu. Batas-batas stilistika ini bertambah kabur apabila dibedakan antara puisi dengan varian-variannya, dengan jenis-jenis yang dihasilkan seperti puisi, lirik, puisi didaktis, puisi religius, dan sebagainya. Demikian juga novel dengan novel sejarah, novel psikologis, sosiologis, dan sebagainya.
Sesuai dengan hakikatnya di antara sastra lama dan modern, gaya bahasa relatif stabil dalam sastra lama. Sampiran dan isi, sajak akhir, jumlah kata dalam satu baris, jumlah baris dalam satu bait, bertahan sepanjang masa. Persamaan dianggap sebagai identitas sejarah untuk menjaga stabilitas alam semesta. Penyimpangan sedapat mungkin dihindarkan.  Ada kesempatan antara penulis dengan pembaca bahwa dalam menikmati karya seni yang dicari adalah isi, pesan, nasihat, dan filsafat kehidupan secara keseluruhan. Masalah ini jelas berbeda dengan sastra modern, di dalamnya perbedaan, pertentangan, dan revolusi gaya bahasa merupakan kunci keberhasilan suatu genre. Karya sastra diukur melalui tingkat  kebaruannya, kemampuannya untuk menyimpang dari ciri-ciri gaya bahasa yang sudah ada. Perdebatan antara gaya bahasa lama dan baru terjadi setiap saat penulisan yang pada dasarnya juga merupakan indikasi terbentuknya genre baru. Jumlah genre dalam karya sastra lama terbatas. Sebaliknya dalam kara sastra modern tak terbatas.
Dengan meneliti gaya bahasa karya-karya individual dengan mengakumulasikannya sedemikian rupa dapat juga dilakukan terhadap gaya sekelompok pengarang sehingga dapat diketahui ciri-ciri periode tertentu.  Demikian juga dengan sendirinya dapat dilakukan gaya genre tertentu. Perubahan gaya bahasa memicu perkembangan genre yang selanjutya menjadi indikator terhadap penyerapan sistem sosial ke dalam karya seni. Dengan kalimat lain gaya bahasa dan genre membantu efektivitas pemahaman terhadap masyarakat yang terungkap di dalam karya.
Gaya bahasa sebagai energi proses kreatif
Karya sastra berfungsi untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia sebagai akibat memenuhi dorongan batin. Pada dasarnya setiap manusia dewasa memiiki tanggung jawab, kesadaran, dan dengan sendirinya kemauan untuk melaksanakannya. Tidak benar bahwa proses kreatif merupakan pekerjaan sambilan atau semata-mata untuk mengisi waktu luang. Aktivitas kreatif merupakan proses yang khas. Energi yang mendorong proses itu pun memiliki ciri-ciri yang berbeda-beda. Faktor yang mendorong seorang pengarang menulis karya sastra harus dicari dalam kaitannya denga kejiwaan sebagai psikoliterer. Pada umumnya disepakati bahwa dalam aktivitas kreatif faktor bakat memegang peranan penting dan hampir selalu dipertimbangkan sebagai indikator utama. Penulisan dapat dilakukan  oleh sembarang orang tetapi hasil yang diharapkan, karya yang memadai hanya diperoleh oleh orang-orang yang dianggap memiliki bakat tersebut. Faktor kedua sangat erat kaitannya dengan faktor pertama adalah kemauan, ketekunan, dan keuletan seseorang dalam menghadapi berbagai tantangan selama proses penulisan. Fakor terakhir adalah lingkungan, baik keluarga terdekat maupun masyarakat yang mengkondisikannya.
Aktivitas kreatif bukan semata-mata menyusun kata ke dalam kalimat, kalimat ke dalam bab dan seterusnya. Dalam karya ilmiah proses penulisan ditentukan oleh isi yang sudah dipersiapkan sebelumnya mungkin sebagai hasil penelitian, tugas lembaga tertentu, pesan sponsor, tugasakhirstudiakademikdansebagainya. Benar, dalamsastrajugasudahadaisi yang akandisampaikantetapibahan-bahan yang dimaksudkanhanyaberupagarisbesar, sebagaitemapokok. Cabangdanrantingnya, bagaimanatemadijabarkansepenuhnyaterjadipada proses penulisan. Dalamteori modern justrudijelaskanbahwapenulisitusendirilah yang diarahkanbahkanditentukanolehtokoh-tokohdankejadian, bukansebaliknya.Tokoh-tokohceritadianggapsebagaimanusia yang benar-benarhidupmemilikinasibnyamasing-masingsehinggapenulisanlah yang mengikutijalan piker tokoh.Pertama kali tokohdihidupkandenganmemberikanidentitasberupanamatertentumakauntukselanjutnyaiaakanberjalansendiri.
Di satupihaktujuanutamagayaseperti di atasadalahkualitasestetis. Di pihaklainkualitasestetisadalahkekuatanitusendiri. Padadasarnyagayalah yang dianggapsebagai energy proses kreatifdandengandemikianbagi proses penikmatannya. Energimendorongpenulisuntukmenulisdanpembacauntukmembacaadalahgaya, cara-carapenyajiansecarakeseluruhanbaikpenyajianbentukmaupunisinya, gayabahasanyatermasukmajas.
Secaratradisional energy karyasastradandengandemikiangayaterkandungdalampersamaanbunyi yang diperluasdenganmajas. Puisidengandemikianadalahkeindahanbunyi.Untukmenunjukkankehadrirandankeindahanbunyimakapuisiharusdibaca yang dikenaldenganpoetry reading.baikpuisibiasamaupunpuisikongkret energy yang mendorongkualitasestetisnyasama. Artinyabaikdalammenulismaupunmembacasebuahpuisi, bahasalah yang dianggapobjekutamabukanisi.



2.7       Dasar Analisis Stilistika
Dasar analisis stilistika dibagi menjadi dua, yaitu contoh karya sastra dan pengarang dengan karyanya. Berikut ini penjelasan dari kedua aspek tersebut.
2.8.1 Pengarang dengan Karyanya
Chairil Anwar lahir 26 Juli 1922 di Medan, meninggal 28 April 1949 di Jakarta. Dikaitkan dengan siklus kehidupan manusia, pada umumnya pengenalan, kenangan, dan proses pemahaman yang lebih intens terhadap seseorang terjadi pada saat meninggal, bukan pada saat lahir. Sepanjang diketahui pendidikannya hanya sampai pada tingkat MULO, ini pun tidak sampai tamat. H.B. Jassin (1967:53), dokumenter yang paling lengkap menyimpan berbagai masalah sastra mengatakan tidak banyak memiliki data tentang biografi Chairil Anwar. Menurutnya, Chairil Anwar tidak pernah betah bekerja pada satu kantor, tempat kediamannya pun tidak tetap. Paling lama Chairil berkantor di Gema Suasana, hanya tiga bulan itu pun datang beberapa kali saja.
Analisis intrinsik dengan menggunakan teori strukturalisme dapat dilakukan semata-mata melalui karya, tanpa menghubungkannya dengan aspek-aspek yang ada diluarnya. Analisis karya sastra sebagai bagian kebudayaan, sebagai analisis ekstrinsik harus menghubungkannya dengan berbagai gejala yang ada dalam masyarakat. Identitasnya sebagai kumpulan puisi, kapan ditulis, aliran yang memengaruhinya, periodisasi, dan ideologi yang terkandung di dalamnya adalah faktor-faktor lain yang juga memegang peranan dalam analisis stilistika.
“Aku” merupakan salah satu puisi dalam kumpulan puisi Deru Campur Debu (1949) terdiri atas 28 puisi, 13 buah dipilih oleh pengarangnya, sedangkan sisanya dipilih oleh Jassin sebagai redaktur. Puisi “Aku” ada dua versi, yaitu versi yang tercantum dalam Deru Campur Debu dan versi Kerikil Tajam yang Terampas dan yang Putus. Versi Kerikil Tajam menggunakan judul “Semangat”. Ada empat perbedaan penulisan, yaitu: a) kata ‘mau’ dan ‘tahu’ (baris ke-3), b)’kumpulannya’ dan ‘kumpulan’ (baris ke-6), c) ‘meradang menerjang’ dan ‘meradang-menerjang’ (baris ke-8), dan d) ‘pedih peri’ dan ‘pedih dan peri’ (baris ke-11). Belum diperoleh informasi tentang terjadinya perbedaan tersebut, khususnya perbedaan judul. Perbedaan penulisan dalam keempat baris berikut diduga semata-mata merupakan salah tulis, salah cetak, semacam korupsi dalam filologi. Kemungkinan lain pengarang memang memiliki dua naskah, sebagai autograf yang berbeda. Pada umumnya yang dianalisis oleh para kritikusadalah puisi berjudul “Aku” yang terkandung dalam Deru Campur Debu. Karya-karya lain yang dihasilkan, diantaranya: Kerikil Tajam dan yang Terempas dan yang Putus (1949), Tiga Menguak Takdir (bersama Asrul Sani dan Rivai Apin). Sajak lain beserta prosa dihimpun oleh Jassin dengan judul Chairil Anwar Pelopor Angkatan ’45 (1956).
Analisis, pembicaraan, dan pembacaan terhadap puisi-puisi, Chairil Anwar sangat banyak. Secara khusus “Aku” dibicarakan oleh Rachmat Djoko Pradopo (1987: 169-208) dengan menggunakan teori semiotika. Tidak terhitung banyaknya motto dengan mengambil kalimat, frase, baik untuk membangkitkan semangat maupun semata-mata ingin mengungkapkan aspek keindahan bahasanya, rangkaian kata-katanya seperti: //Aku ini binatang jalang//, //Aku mau hidup seribu tahun lagi//. Demikian juga puisinya yang lain, baik dalam kumpulan puisi ini maupun yang lain, seperti:” Cerita Buat Dien Tamaelo”, “Penerimaan”, “Senja di Pelabuhan Kecil”, “Diponegoro”, “Merdeka”, “Kerawang Bekasi”, dan sebagainya. Belum ada karya sastra yang diresepsi demikian intens selain hasil karya Chairil Anwar. Cara pengungkapan secara keseluruhan, kekhasannya dalam pemilihan kata-kata dianggap sebagai ciri utama keberhasilan tersebut.
Popularitas Chairil membawanya ke puncak urutan para penyair besar Indonesia. Chairil diakui sebagai penyair paling berhasil sepanjang sejarah sastra. Pengakuan berasal baik dari kritikus seperti H.B. Jassin dan A. Teeuw, maupun sastrawan sesudahnya, seperti: W.S. Rendra, Sapardi Djoko Damono, Pramoedya Ananta Toer, dan sebagainya. Dalam usianya yang sangat muda Chairil menjadi inspirasi, mitos bagi kreativitas sastra selanjutnya. Keberhasilan yang dimaksudkan ditunjukkan melalui beberapa faktor, di antaranya: a) representasi visual melalui kebaruan bentuk, komposisi, susunan baris, dan bait, b) efisiensi bahasa, penggunaan kata-kata secara singkat, sederhana, tetapi penuh energi, c) pembawa aliran baru, sebagai ekspresionisme, d)  kebaruan isi, yaitu nasionalisme, sesuai dengan semangat zaman, dan e) keberhasilannya untuk menggugah emosi pembaca.
Puncak keberhasilan Chairil sebagai penyair nasional, bahkan juga berhasil masuk ke dalam khazanah sastra internasional, dengan diterjemahkannya ke dalam bahasa asing, diduga karena Chairil telah dipengaruhi sekaligus memanfaatkan ciri-ciri semangat sastra dunia. Dalam hubungan ini terjadi saling mempengaruhi antara ciri-ciri nasionalisme, filsafat, dan sastra. Nasionalisme mempengaruhi semua wilayah yang pernah terjadi di seluruh dunia, khususnya setelah Perang Dunia II. Menurut Jassin (1975: 6) Chairil dipengaruhi oleh filsuf Nietzsche dan para penyair Belanda, yaitu: Slauerhoff, Marsman, Ter Braak, dan Du Perron. Atas dasar pemahaman tersebut Chairil berhasil mengatasi semangat regionalism dan romantisisme Balai Pustaka dan Pujangga Baru.   
2.8.2    Contoh Karya Sastra
Aku                                                                             Semangat

Kalau sampai waktuku                                                Kalau sampai waktuku
`Ku mau tak seorang`kan merayu                              kutahu tak seorang `kan
merayu                                                                       
Tidak juga kau                                                                        Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu                                             Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang                                               Aku ini binatang jalan
Dari kumpulannya terbuang                                       Dari kumpulan terbuang

Biar peluru menembus kulitku                                    Biar peluru menembus
kulitku
Aku tetap meradang menerjang                                  Aku tetap meradang
menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari                                     Luka dan bisa kubawa
                                                                                    berlari
Berlari                                                                         Berlari
Hingga hilang pedih peri                                            Hingga hilang pedih dan
peri

Dan aku akan lebih tidak peduli                                 Dan aku akan lebih
tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi                                Aku mau hidup seribu
            tahun lagi
(Deru Campur Debu, 1963: 7)                                   (Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus, 1978: 15)






III.           PENUTUP

3.1 Simpulan
Stilistika adalah ilmu yang mempelajari mengenai pemakain bahasa dalam karya sastra. Kajian stilistika digunakan untuk menjelaskan fungsi  keindahan penggunaan bentuk kebahasaan tertentu mulai dari aspek bunyi, leksikal, struktur, bahasa figuratif, sarana retorika sampai grafologi. Pendekatan stilistika berarti asumsi dasar yang digunakan oleh kritikus dalam menilai suatu karya sastra ditinjau dari segi kebahasaannya.
Di dalam kajian stilistika menggunakan tiga pendekatan, yaitu pendekatan dualisme, pendekatan monisme, dan pendekatan pluralism.Pendekatan dualisme adalah paham yang memiliki ajaran bahwa segala sesuatu yang ada, bersumber dari dua hakikat atau substansi yang berdiri sendiri-sendiri. Pendekatan monisme tidak membedakan unsur bentuk dan isi serta memandang keduanya sebagai satu kesatuan yang erat. Pendekatan monisme beranggapan bahwa pemilihan isi sekaligus berarti pemilihan menentukan bentuk (Lecch & Short, 2007:17 dalam Nurgiyantoro). Demikian sebaliknya pemilihan bentuk sekaligus berarti pemilihan isi. Isi dan bentuk merupakan sebuah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sebuah isi, muatan makna, hanya dapat dan tepat diungkapkan dengan satu bentuk dan bentuk itulah yang dipilih oleh pengarang. Pluralisme adalah suatu paham atau pandangan hidup yang mengakui dan menerima adanya “kemajemukan” atau “keanekaragaman” dalam suatu kelompok masyarakat. kemajemukan dimaksud misalnya dilihat dari segi agama, suku, ras, adat-istiadat, dll. segi-segi inilah yang biasanya menjadi dasar pembentukan aneka macam kelompok lebih kecil, terbatas dan khas, serta yang mencirikhaskan dan membedakan kelompok yang satu dengan kelompok yang lain, dalam suatu kelompok masyarakat yang majemuk dan yang lebih besar atau lebih luas.



3.2     Saran
Berdasarkan simpulan di atas, maka penulis merekomendasikan saran, yaitu dalam menulis teori stilistika diharapkan dapat menggunakan tiga pendekatan, yaitu pendekatan dualisme, monisme, dan pluralisme yang bersumber dari berbagai macam teori yang dikemukakan para ahli agar sajian makalah menjadi lebih mendalam dan dapat dijadikan sebagai bahan rujukan.

















DAFTAR PUSTAKA

Junus, Umar. 1989. StilistikSatuPengantar. Selangor DarulEhsan: DewanBahasadanPustaka.
KuthaRatna, Nyoman. 2009. StilistikaKajianPuitikaBahasa, Sastra, danBudaya. Yogyakarta:PustakaPelajar.
Nurgiyantoro, Burhan. 2014. Stilistika. Yogyakarta:GadjahMada University Press.
Sudjiman, Panuti. 1993. BungaRampaiStilistika. Jakarta:PT Temprint.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PUISI CORONA

CORONA Karya Asep Perdiansyah Corona datang menyerang Dunia menjadi tak tenang Tempat keramaian seketika menghilang Matahari b...