BATASAN, PENGENALAN, DAN JENIS MORFEM DALAM BAHASA
INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Morfologi merupakan bagian dari ilmu bahasa atau linguistik. Ilmu
bahasa secara singkat dapat dijelaskan sebagai ilmu yang mempelajari seluk
beluk bahasa secara ilmiah, atau secara scientific. Seperti halnya
ilmu-ilmu lain, ilmu bahasa bersifat umum, maksudnya tidak terkait dengan
sesuatu bahasa. Namun demikian, berdasarkan bahasa yang dipelajari, ilmu bahasa
dapat dibedakan menjadi ilmu bahasa Jawa, ialah ilmu yang mempelajari secara
khusus bahasa Jawa, ilmu bahasa Sunda, ialah ilmu yang khusus mempelajari
bahasa Sunda, dan ilmu bahasa yang khusus mempelajari bahasa Indonesia, di sini
disebut ilmu bahasa Indonesia.
Selain berdasarkan bahasa yang dipelajari, ilmu bahasa dapat juga
diperbedakan berdasarkan stuktur interennya. Berdasarkan ini, ilmu bahasa dapat
diperbedakan menjadi fonetik, fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik.
Fonetik mempelajari fungsi bunyi bahasa sebagai pembeda arti; fonologi
mempelajari bunyi bahasa sebagai pembeda arti, ialah yang disebut fonem;
morfologi mempelajari seluk beluk struktur kata; sintaksis mempelajari
seluk-beluk struktur frase, kalimat, dan wacana; semantik mempelajari
seluk-beluk arti.
Makalah ini, di dalamnya akan membahas tentang morfologi. Konsep
bahwa dapat tidaknya sebuah dasar diberi proses morfologi tertentu bergantung
pada komponen makna yang dimiliki sebuah bentuk dasar, akan dicoba digunakan
untuk melihat bagaimana proses pembentukan kata dalam bahasa Indonesia.
Pendekatan ini diharapkan dapat menjadi
“berani”nya penutur bahasa Indonesia untuk menggunakan bentuk-bentuk yang
secara gramatikal dan semantik berterima, tetapi dewasa ini belum lazim.
Misalnya, kini orang alih-alih menggunakan bentuk berpesawat atau berbus,
malah menggunakan bentuk naik pesawat dan naik bus.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah
batasan morfem?
2.
Bagaimanakah
identifikasi atau pengenalan morfem?
3.
Apasajakah
jenis-jenis morfem?
4.
Apakah
perbedaan morfem, alomorf, dan kata dasar?
1.3
Tujuan
Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui dan memahami
hal-hal sebagai berikut.
1.
Batasan morfem.
2.
Identifikasi
atau pengenalan morfem.
3.
Jenis-jenis
morfem.
4.
Perbedaan morfem,
alomorf, dan kata dasar.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Batasan
Morfem
a. Menurut Abdul Chaer
Morfem adalah satuan gramatikal terkecil yang memiliki makna.
Dengan kata terkecil berarti “satuan” itu tidak dapat dianalisis menjadi lebih
kecil lagi tanpa merusak maknanya. Dalam konvensi linguistik sebuah bentuk
dinyatakan sebagai morfem ditulis di dalam kurung kurawal ({...}).
Contoh:
1.
Bentuk membeli
dapat dianalisis menjadi dua bentuk terkecil yaitu {me-} dan {beli}. Bentuk
{me-} adalah sebuah morfem, yakni morfem afiks yang secara gramatikal memiliki
sebuah makna; dan bentuk {beli} juga sebuah morfem, yakni morfem dasar yang
secara leksikal memiliki makna. Kalau bentuk beli dianalisismenjadi
lebih kecil lagi menjadi be- dan li-, keduanya jelas tidak
memiliki makna apapun. Jadi, keduanya
bukan morfem.
2.
Bentuk berpakaian
dapat dianalisis ke dalam satuan-satuan terkecil. Menjadi {ber-}, {pakai}, dan
{-an}. Ketiganya adalah morfem. {Ber} adalah morfem prefiks, {pakai} adalah
morfem dasar, dan {-an} adalah morfem sufiks. Ketiganya juga memiliki makna.
Morfem {ber-} dan morfem {-an} memiliki makna gramatikal, sedangkan morfem
{pakai} memiliki makna leksikal (Chaer, 2008: 13).
b. Menurut Jos
Daniel Parera
Definisi
morfem sebagai berikut: “Satu bentuk bahasa yang sebagiannya tidak mirip dengan
bentuk lain manapun juga, baik bunyi maupun arti, adalah bentuk tunggal atau
morfem.”
Contoh:
1.
Bentuk pelaut.
Bukan terdiri atas sebuah morfem karena {pe-} mempunyai kemiripan dengan {pe-}
dalam pelari, laut mempunyai kemiripan dengan bentuk lautan. Akan
tetapi jika pelaut kita pisahkan atas pe- dan laut, maka
masing-masing tidak mempunyai kemiripan dengan bentuk yang lain. Jadi
masing-masing adalah sebuah morfem (Parera, 1990: 13).
2.
Dalam kalimat
bahasa Pemuda-pemuda yang jangkung belum berkesempatan mandi. Terdiri
atas beberapa morfem, yaitu;
1)
{pe-} 2) {muda} 3) {pe-} 4)
{muda} 5) {yang}
6) {jangkung} 7) {belum} 8)
{ber-} 9) {sempat} 10) {ke-an}
11) {mandi}.
2.2
Pengenalan
Morfem
Satuan bahasa merupakan komposit antara bentuk dan makna. Oleh
karena itu, untuk menetapkan sebuah bentuk adalah morfem atau bukan didasarkan
pada kriteria bentuk dan makna itu. Hal-hal berikut dapat dipedomani untuk
menemukan morfem dan bukan morfem itu (Chaer, 2008: 13—15) dan (Ramlan 1987:
36—44).
1)
Dua bentuk yang
sama atau lebih memiliki makna yang sama merupakan sebuah morfem. Contohnya
kata bulandan bajupada kalimat di bawah ini adalah sebuah morfem
yang sama.
Contoh: - Bulan
depan dia akan menikah.
- Sudah tiga bulan dia belum bayar uang SPP.
- Bulan November
lamanya 30 hari.
- Menjahit baju
- Baju biru
- Baju batik
- Berbaju
Menurut Ramlan (1987: 36—37) Satuan ke—an dalam kehujanan
dan kemanusiaan, meskipun keduanya mempunyai struktur fonologik yang
sama, tetapi tidak dapat dimasukkan dalam satu morfem karena makna atau arti
gramatiknya tidak sama. Satuan ke—an dalam kehujanan menyatakan
makna ‘pasif keadaan’, sedangkan ke—an dalam kemanusiaan
menyatakan makna ‘abstraksi hal’.
Sesuai
dengan prinsip ini jelaslah bahwa satuan-satuan merupakan satu morfem apabila
mempunyai struktur fonologik dan arti atau makna yang sama, yang dimaksud
dengan struktur fonologik adalah urutan fonem.
2)
a. Dua bentuk
yang sama atau lebih bila memiliki makna yang berbeda merupakan dua morfem yang
berbeda. Misalnya kata bunga pada kedua kalimat adalah dua morfem yang
berbeda.
Contoh: - Bank
Indonesia memberikan bunga 5 persen per tahun
Dia
datang membawa seikat bunga.
- Ia membaca buku (kitab)
Buku tebu (sendi)
b. Apabila satuan yang mempunyai struktur fonologik yang sama itu
mempunyai arti yang berhubungan, satuan itu merupakan satu morfem apabila
distribusinya tidak sama, dan merupakan morfem yang berbeda apabila
distribusinya sama.
Contoh: - Ia sedang duduk
Duduk orang itu sangat sopan
- Ia belum datang
Datangnya terlambat
Penjelasan: Kata duduk dalam Ia sedang duduk merupakan satu
morfem dengan kata duduk dalam Duduk orang itu sangat
sopan karena keduanya mempunyai arti yang berhubungan dan mempunyai
distribusi yang berbeda. Kata duduk dalam
Ia sedang duduk berfungsi
sebagai predikat dan termasuk
golongan kata
verbal, sedangkan kata duduk dalam
Duduknya orang
itu sangat sopan merupakan
bagian dari
subjek dan
termasuk golongan kata nominal sebagai akibat
adanya proses
nominalisasi. Demikian pula kata datang
pada Ia
belum datang merupakan satu morfem dengan kata
datang dalam datangnya terlambat karena keduanya
mempunyai arti
yang berhubungan dan mempunyai
distribusi yang
berbeda (Ramlan, 1987: 41).
3)
Dua buah bentuk
yang berbeda, tetapi memiliki makna yang
sama, merupakan dua morfem yang berbeda. Contohnya kata ayah dan bapak
pada kedua kalimat berikut.
Contoh: - Ayah
pergi ke Medan.
- Bapak baru pulang
dari Medan.
4)
Bentuk-bentuk
yang mirip (berbeda sedikit) tetapi maknanya sama adalah sebuah morfem yang
sama, asal perbedaan bentuk itu dapat dijelaskan secara fonologis. Contohnya
bentuk-bentuk me-, mem-, men-, meny-, dan menge- pada kata-kata
di bawah ini merupakan morfem yang sama.
Contoh: - melihat
- membina
- mendengar
- menyusul
- mengambil
- mengecat
Dari kata-kata tersebut di atas, jelaslah bahwa perbedaan struktur
fonologik mem—, men—, meny—, meng—, menge—, dan me— disebabkan
oleh konsonan awal satuan yang mengikutinya, atau dengan kata lain disebabkan
oleh kondisi satuan yang mengikutinya , yaitu (Ramlan, 187: 38—39):
- Mem—apabila
konsonan awal satuan yang mengikutinya berupa /b/.
- Men—apabila
konsonan awal satuan yang mengikutinya berupa /d/.
- Meny—apabila
konsonan awal satuan yang mengikutinya berupa /s/.
- Meng—apabila
konsonan awal satuan yang mengikutinya berupa /g/.
- Menge—apabila
konsonan awal satuan yang mengikutinya terdiri atas satu suku.
- Me—apabila
konsonan awal satuan yang mengikutinya berupa /l/.
Berdasarkan penjelasan tersebut jelaslah bahwa perbedaan struktur
fonologiknya dapat dijelaskan secara fonologik, dan karena itu satuan-satuan
tersebut merupakan satu morfem, atau merupakan alomorf dari morfem yang sama,
ialah morfem meN—. Karena kondisi yang mengikutinya, morfem ini berubah
menjadi mem—, men—, meny—, meng—, menge—, dan me—.
5)
a. Setiap satuan yang dapat dipisahkan merupakan
morfem (Ramlan 1987: 43).
Contoh: - Bersandar
dan sandaran terdiri atas satuan ber— dan
sandar, dan satuan
sandaran terdiri atas sandar dan —an.
Maka,
ber—, sandar, dan —an masing-masing
merupakan
morfem sendiri-sendiri.
- Di samping menduduki,
terdapat diduduki, mendudukkan, diduduki, terduduk, penduduk, dan
kedudukan. Di samping itu terdapat pula kata duduk. Jelaslah bahwa
menduduki terdiri atas tiga morfem, yaitu meN—, duduk dan —i. Diduduki terdiri
atas tiga morfem, yaitu di—, duduk, dan —i. Maka meN—, di—, duduk,
—i, —kan, ter—, peN—, dan ke—an merupakan morfem sendiri-sendiri.
b.
Bentuk yang
hanya muncul dengan pasangan satu-satunya adalah juga sebuah morfem.
Contoh: - Bentuk renta
pada konstruksi tua renta, dan bentuk kuyup pada konstruksi basah kuyup adalah juga morfem.
- Bentuk bugar pada
konstruksi segar bugar dan bentuk
mersik
pada konstruksi kering mersik.
Penjelasan: Satuan renta yang berarti ‘sekali’
hanya terdapat pada tua renta, tetapi di samping tua renta
terdapat tua bangka, sudah tua, tertua, dan ketua. Maka jelaslah
bahwa tua merupakan satu morfem, dan renta, yang hanya dapat
bergabung dengan tua, juga merupakan morfem tersendiri. Demikian pula
satuan-satuan bangka, sudah, ke—, dan ter—. Satu morfem yang
hanya dapat berkombinasi dengan satu morfem saja disebut morfem unik.
Demikianlah morfem renta itu disebut morfem unik (Ramlan 1987: 43—44).
6)
Apabila dalam
deretan struktur, satuan struktur berpararel dengan suatu kekosongan, maka
kekosongan itu merupakan morfem ialah yang disebut morfem zero.
Contoh: - (1) Ia
membeli sepeda.
- (2) Ia menjahit baju.
- (3) Ia membaca buku.
- (4) Ia menulis surat.
- (5) Ia makan roti.
- (6) Ia minum es.
Semua kalimat tersebut berstruktur SPO. Maksudnya ketika subjek ada
di muka, diikuti P atau predikat, diikuti O atau objek. Predikatnya merupakan
kata verbal yang transitif. Pada kalimat
1, 2, 3, 4, kata verbal yang transitif itu ditandai dengan adanya me-N,
sedangkan pada kalimat 5 dan 6, kata verbal transitif ditandai oleh kekosongan,
ialah tak adanya men-N. Maka kekosongan itu merupakan morfem, yang
disebut morfem zero.
7)
Bentuk yang
muncul berulang-ulang pada satuan bahasa yang lebih besar (klausa, kalimat)
apabila maknanya berbeda secara polisemi adalah juga merupakan morfem yang
sama. Umpamanya kata kepala pada kalimat-kalimat berikut memiliki makna
yang berbeda secara polisemi, tetapi tetap merupakan morfem yang sama.
Contoh: - Ibunya
menjadi kepala sekolah di sana.
-
Nomor
teleponnya tertera pada kepala surat itu.
-
Kepala jarum itu terbuat dari plastik.
-
Setiap kepala
mendapat bantuan sepuluh ribu rupiah.
-
Tubuhnya memang
besar tetapi sayang kepalanya kosong.
2.3
Jenis-Jenis
Morfem
Kajian morfologi biasanya dibedakan adanya beberapa morfem
berdasarkan kriteria tertentu, seperti kriteria kebebasan, makna, dan
sebagainya. Berikut ini termasuk jenis-jenis morfem, yaitu (Chaer, 2008: 16—21).
1)
Berdasarkan
kebebasannya untuk dapat digunakan langsung dalam pertuturan.
a.
Morfem bebas
Morfem bebas adalah morfem tanpa keterkaitannya dengan morfem lain
dapat langsung digunakan dalam pertuturan. Misalnya morfem {pulang}, {merah}, dan
{pergi}. Morfem bebas ini tentunya merupakan morfem dasar.
b.
Morfem terikat
Morfem terikat adalah morfem yang harus terlebih dahulu bergabung
dengan morfem lain untuk dapat digunakan dalam pertuturan. Dalam hal ini, semua
afiks dalam bahasa Indonesia termasuk morfem terikat. Di samping itu banyak
juga morfem terikat yang berupa morfem dasar, seperti {henti}, {juang}, dan
{geletak}. Untuk dapat digunakan ketiga morfem ini harus terlebih dahulu diberi
afiks atau digabung dengan morfem lain. Misanya {juang} menjadi berjuang,
pejuang, dan daya juang; {henti} harus digabung terlebih dulu
oleh afiks seperti menjadi berhenti, perhentian, dan menghentikan;
dan geletak harus diberi imbuhan dulu, misalnya menjadi tergeletak dan menggeletak.
Adanya morfem bebas dan terikat dapat dibagankan menjadi:
Bebas dasar
Morfem
terikat dasar
afiks
Berkenaan dengan bentuk dasar dan terikat, perlu dikemukakan
catatan sebagai berikut:
Pertama, bentuk dasar
terikat, seperti gaul, juang, dan henti lazim juga disebut
bentuk prakategorial karena bentuk-bentuk tersebut belum memiliki kategori
sehingga tidak dapat digunakan dalam pertuturan.
Kedua, Verhaar dalam
Chaer (2008: 17) juga memasukkan bentuk-bentuk seperti beli, baca,
dan tulis ke dalam kelas kelompok prakategorial, karena untuk digunakan
dalam kalimat harus terlebih dahulu diberi prefiks me-, prefiks di-,
atau prefiks ter-. Dalam kalimat imperatif memang tanpa imbuhan
bentuk-bentuk tersebut dapat digunakan. Namun, kalimat imperatif adalah hasil
transformasi dari kalimat aktif transitif (yang memerlukan imbuhan).
Ketiga, bentuk-bentuk
seperti renta (yang hanya muncul dalam tua renta), kerontang
(yang hanya muncul dalam kering kerontang), dan kuyup (yang hanya muncul
dalam basah kuyup) adalah termasuk dalam morfem terikat. Lalu oleh karena hanya
muncul dalam pasangan tertentu, maka disebut morfem unik.
Keempat, bentuk-bentuk
yang disebut klitika merupakan morfem yang agak sukar ditentukan statusnya,
apakah morfem bebas atau terikat. Kemunculannya dalam pertuturan selalu terikat
dengan bentuk lain, tetapi dapat dipisahkan. Contohnya klitika –ku dalam
konstraksi bukuku dapat dipisahkan sehingga menjadi buku baruku. Dilihat dari
posisi tempatnya dibedakan adanya proklitika, yaitu klitika yang berposisi di
muka kata yang diikuti seperti klitika –ku dalam bentuk kubawa dan kuambil.
Sedangkan yang disebut enklitika adalah klitika yang berposisi di belakang kata
yang dilekati, seperti klitika –mu dan –nya pada bentuk nasibmu
dan duduknya.
Kelima, bentuk-bentuk
yang termasuk preposisi dan konjungsi seperti dan, oleh, di,
dan karena secara morfologis termasuk morfem bebas, tetapi secara sintaksis
merupakan bentuk terikat (dalam satuan sintaksisnya).
Keenam, bentuk-bentuk
yang oleh Kridalaksana dalam Chaer (2008: 18) disebut proleksem, seperti a
pada asusila, dwi (pada dwibahasa), dan ko pada (kopilot)
juga termasuk morfem terikat.
2)
Berdasarkan
keutuhan bentuknya dibedakan atas morfem utuh dan morfem terbagi.
a.
Morfem utuh
Morfem utuh
secara fisik merupakan satu-kesatuan yang utuh. Semua morfem dasar, baik bebas
maupun terikat, serta prefiksdan sufiks termasuk morfem utuh.
b.
Morfem terbagi
Morfem terbagi
adalah morfem yang fisiknya terbagi atau disisipi morfem lain. Karenanya, semua
konfiks (seperti ke-an, pe-an, dan per-an) termasuk morfem
terbagi.
Namun, mengenai morfem terbagi ini ada dua catatan yang perlu
diperhatikan, yaitu:
Pertama, semua konfiks
adalah morfem terbagi; tetapi pada bentuk ber-an ada yang berupa konfiks
dan yang bukan konfiks, misalnya ber-an pada kata berpakaian
dalam kalimat “Sebelum berpakaian, ia mandi dulu” bukan konfiks yang dalam buku
ini disebut klofiks (akronim dari kelompok afiks); tetapi ber-an pada
kata bermunculan pada kalimat “Penyanyi baru banyak bermunculan pada
tahun-tahun ini” adalah sebuah konfiks.
Kedua, dalam bahasa
Indonesia ada afiks yang disebut infiks, yaitu afiks yang ditempatkan di tengah
(di dalam) kata. Misalnya, infiks –el- pada kata dasar tunjuk
menjadi kata telunjuk. Infiks itu memecah morfem tunjuk menjadi
dua bagian, yaitu t-el-unjuk. Dengan demikian, morfem t—unjuk
menjadi morfem terbagi, bukan morfem utuh.
3)
Berdasarkan
kemungkinan menjadi dasar dalam pembentukan kata
a)
Morfem dasar
Morfem dasar
adalah morfem yang dapat menjadi dasar
dalam suatu proses morfologi. Misalnya, morfem {beli}, {makan}, dan {merah}.
Namun perlu diingat bentuk dasar yang termasuk dalam kategori preposisi dan
konjungsi tidak pernah mengalami proses afiksasi.
b)
Morfem afiks
Morfem afik tidak dapat menjadi dasar, melainkan hanya sebagai
pembentuk disebut morfem afiks, seperti morfem {me}, {-kan}, dan {pe-an}.
Berdasarkan pembagian tersebut, maka dapat dibuat bagan.
bebas
dasar terikat
Morfem Afiks
4)
Berdasarkan
jenis fonem yang membentuknya dibedakan menjadi sebagai berikut.
a.
Morfem
segmental
Morfem
segmental adalah morfem yang dibentuk oleh fonem-fonem segmental, yakni morfem
yang berupa bunyi dan dapat disegmentasikan. Misalnya, morfem {lihat}, {ter-},
{sikat}, dan {-lah}.
b.
Morfem
suprasegmental
Morfem
suprasegmental adalah morfem yang terbentuk dari nada, tekanan, durasi, dan
intonasi.
5)
Berdasarkan
kehadirannya secara konkret dibedakan menjadi:
a)
Morfem wujud
Morfem wujud adalah morfem yang secara nyata ada.
b)
Morfem tanwujud
Morfem tanwujud tidak terdapat dalam bahasa Indonesia, tetapi ada
dalam bahasa Inggris.
6)
Berdasarkan
ciri semantik dibedakan menjadi:
a)
Morfem leksikal
Morfem leksikal
adalah morfem yang di dalam dirinya, secara inhern, telah memiliki makna. Semua
morfem dasar bebas, seperti {makan}, {pulang}, dan {pergi} termasuk morfem
bermakna leksikal. Ciri morfem leksikal yaitu dapat digunakan langsung dalam
pertuturan.
b)
Morfem tak
bermakna leksikal
Morfem afiks,
seperti {ber-}, {ke}, dan {ter-} termasuk morfem tak bermakna leksikal. Ciri morfem tak bermakna leksikal yaitu tidak
dapat digunakan langsung dalam pertuturan.
2.4
Morfem,
Alomorf, dan Kata Dasar
Dalam bahasa ada bentuk (seperti kata) yang dapat “dipotong-potong”
menjadi bagian yang lebih kecil, yang kemudian dapat dipotong lagi menjadi
bagian yang lebih kecillagi sampai ke bentuk yang jika dipotong lagi tidak
mempunyai makna. Kata memperbesar, misalnya, dapat dipotong sebagai
berikut.
Mem-perbesar
Perbesar
Jika
besar dipotong lagi, maka be- dan sar- masing-masing tidak
mempunyai makna. Bentuk seperti mem-, per-, dan besar disebut morfem.
Morfem yang dapat berdiri sendiri, seperti besar, dinamakan morfem
bebas, sedangkan yang melekat pada bentuk lain, seperti mem- dan per-,
dinamakan morfem terikat. Dengan batasan itu, maka sebuah morfem dapat berupa
kata (seperti besar di atas), tetapi sebuah kata dapat terdiri atas satu
morfem atau lebih. Contoh memperbesar di atas adalah satu kata yang
memiliki tiga morfem, yakni dua morfem terikat mem- dan per-
serta satu morfem yang kebetulan juga satu kata. Berikut ini beberapa contoh
lain beserta keterangannya.
Membawa morfem bebas : bawa
morfem
terikat: mem-
Mendapat morfem bebas : dapat
morfem
terikat: men-
Pembuatan morfem bebas : buat
Morfem
terikat: pem—an
Pada
contoh di atas kita temukan bentuk mem- dan men- yang
masing-masing dilekatkan pada bawa dan dapat. Baik mem-
maupun men- sebenarnya mempunyai fungsi dan makna yang sama, yakni
merupakan unsur yang membentuk verba aktif. Perbedaan dalam wujudnya itu ditentukan
oleh fonem pertama yang mengawali kata bawa dan dapat; jika fonem
yang mengikutinya berupa fonem /b/, maka bentuknya adalah mem-, tetapi
jika fonem pertamanya /d/ maka bentuknya men-. Anggota satu morfem yang
wujudnya berbeda, tetapi mempunyai fungsi dan makna yang sama dinamakan
alomorf. Dengan demikian mem- dan men- adalah dua alomorf dari
satu morfem yang sama yakni {meng-}. Di samping {mem-} dan {men-}
masih ada alomorf meny- (seperti dalam menyingkir), meng-(seperti
dalam mengambil), me- (seperti dalam melamar), dan menge-
(seperti dalam mengecat). Dalam buku ini dipilih menge- untuk
mewakili semua alomorf itu karena bentuk meng- itu terdapat di muka
dasar yang diawali dengan salah satu dari keenam vokal Indonesia atau dengan
konsonan /k/, /g/, /h/, /x/ sehingga meng- merupakan bentuk yang paling
luas distribusinya. Itulah sebabnya dalam bentuk tata bahasa ini, demi
kemudahan pengajaran, dipilih bentuk meng-.
Bentuk
seperti duduk, darat, dan temu dapat dipakai sebagai dasar untuk
membentuk kata. Dari ketiga bentuk ini diperoleh kata-kata berikut.
Duduki menduduki
Duduk pendudukan
Dudukkan mendudukkan
mendarat
darat pendaratan
daratkan mendaratkan
bertemu
temu pertemuan
petemukan mempertemukan
Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa menduduki dan mendudukkan
diturunkan secara bertahap dari dasar duduk, mendarat dari dasar darat,
bertemu dari dasar temu, dan mempertemukan dari dasar pertemukan.
Selanjutnya, kata seperti pendudukan, pendaratan, dan pertemuan
tidak dibentuk atau diturunkan dari dasar duduk, darat, dan temu,
tetapi dari dasar menduduki, mendarat, dan bertemu. Dengan kata
lain, kata yang diturunkan dari dasar tertentu dapat pula menjadi dasar
pembentukan kata turunan yang lain. Jadi, urutan pembentukannya dapat dilihat
pada bagan berikut (Alwi dkk, 2003: 28—30).
Duduk menduduki pendudukan
Darat mendarat pendaratan
Temu bertemu pertemuan
BAB
III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Morfologi merupakan bagian dari ilmu bahasa atau linguistik. Ilmu
bahasa secara singkat dapat dijelaskan sebagai ilmu yang mempelajari seluk
beluk bahasa secara ilmiah, atau secara scientific. Seperti halnya
ilmu-ilmu lain, ilmu bahasa bersifat umum, maksudnya tidak terkait dengan
sesuatu bahasa. Namun demikian, berdasarkan bahasa yang dipelajari, ilmu bahasa
dapat dibedakan menjadi ilmu bahasa Jawa, ialah ilmu yang mempelajari secara
khusus bahasa Jawa, ilmu bahasa Sunda, ialah ilmu yang khusus mempelajari
bahasa Sunda, dan ilmu bahasa yang khusus mempelajari bahasa Indonesia, di sini
disebut ilmu bahasa Indonesia.
Konsep bahwa dapat tidaknya sebuah dasar diberi proses morfologi
tertentu bergantung pada komponen makna yang dimiliki sebuah bentuk dasar, akan
dicoba digunakan untuk melihat bagaimana proses pembentukan kata dalam bahasa
Indonesia. Pendekatan ini diharapkan
dapat menjadi “berani”nya penutur bahasa Indonesia untuk menggunakan
bentuk-bentuk yang secara gramatikal dan semantik berterima, tetapi dewasa ini
belum lazim. Misalnya, kini orang alih-alih menggunakan bentuk berpesawat
atau berbus, malah menggunakan bentuk naik pesawat dan naik
bus.
3.2 Saran
Dalam
penyusunan makalah ini, kami selaku penyusun tentunya mengalami banyak
kekeliruan dan kesalahan-kesalahan baik dalam ejaan, pilihan kata, sistematika
penulisan maupun penggunaan bahasa yang kurang di pahami. Untukitu kami mohon kritik dan sarannya untuk masukan
kami sebagai pembelajaran di waktu yang akan datang.
DAFTAR
PUSTAKA
Alwi, Hasan, dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai
Pustaka.
Chaer, Abdul. 2008. Morfologi Bahasa Indonesia (Pendekatan
Proses). Jakarta:
Rineka Cipta.
Parera, Jos
Daniel. 1990. Morfologi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Ramlan, M. 1987. Morfologi Satuan Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta:
CV
Karyono.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar