I.
PENDAHULUAN
Pada bab ini akan dibahas
beberapa hal yang berkaitan dengan latar belakang masalah, tujuan, dan
permasalahan. Pembahasan secara rinci dapat dikemukakan sebagai berikut.
1.1
Latar
Belakang
Stilistika menjadi pembahasan dalam bidang sastra, baik sastra lama
maupun modern. Dalam pengertian yang lebih luas sesungguhnya stilistika juga
diperlukan bagi ilmu humaniora pada umumnya. Dikaitkan dengan masyarakat
kotemporer di dalamnya terjadi perkembangan berbagai aspek kehidupan secara
dinamis. Khususnya sebagai akibat kemajuan teknologi komunikasi, stilistika
memasuki hampir keseluruhan aspek kehidupan manusia. Meskipun demikian
khususnya dalam kaitannya dengan teori sastra stilistika kurang memperoleh
perhatian. Pada umumnya stilistika lebih banyak dibicarakan dalam ilmu bahasa
yaitu dalam bentuk deskripsi berbagai jenis gaya bahasa, sebagai majas.
Implikasinya logis yang ditimbulkan adalah pembicaraan stilistika dalam
analisi terhadap karya sastra juga terbatas sebagai semata-mata deskripsi
penggunaan khas bahasa seperti inversi, hiperbola, litotes, dan sebagainya.
Fungsi dan kedudukan jenis-jenis gaya bahasa itu pun hampir sama. Perbedaanya
terbatas sebagai kuantitatif misalnya, jenis gaya bahasa yang satu lebih banyak
dibandingkan dengan yang lain. Kesimpulan yang diperoleh juga didasarkan atas
perbedaan kuantitas tersebut bukan kualitas dan intensitasnya dalam menopang
ide cerita secara keseluruhan. Makalah ini mencoba menguraikan materi stilistika
secara teori yaitu konsep dasar, hakikat, pengertian, pendekatan, ruang
lingkup, tujuan kajian stilistika, fungsi dan kegunaan stilistika dalam karya
sastra, dan dasar analisis pengarang.
Permasalahan
1.
Apa yang dimaksud
stilistika?
2.
Pendekatan apa saja yang
digunakan di dalam teori stilistika?
3.
Apa saja yang menjadi ruang
lingkup pembahasan stilistika?
4.
Apakah tujuan kajian
stilistika?
5.
Apa saja fungsi dan kegunaan
stilistika dalam karya sastra?
6.
bagaimanakah analisi
pengarang dalam kajian stilistika?
1.2 Tujuan
1.
Untuk mengetahui tentang
pengertian stilistika.
2.
Untuk mendeskripsikan
macam-macam pendekatan stilistika.
3.
Untuk mengetahui ruang
lingkup pembahasan stilistika.
4.
Untuk mengetahui tujuan
kajian stilistika.
5.
Untuk mengetahui fungsi dan
kegunaan stilistika dalam karya sastra.
II.
PEMBAHASAN
Pada bab ini akan dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan konsep, hakikat,
pengertian, pendekatan, ruang lingkup, tujuan kajian stilistika, fungsi dan kegunaan
stilistika dalam karya sastra, dan dasar analisis pengarang.
2.1 Konsep stilistika
Dalam
bahasa dan sastra stilistika merupakan bagian dari ilmu sastra, lebih sempit
lagi, ilmu gaya bahasa dalam kaitannya dengan aspek aspek keindahan. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), gaya memiliki beberapa ciri yaitu:
1. kekuatan,
kesanggupan, gaya dalam pengertian denotatif, misalnya gaya pegas gaya lentur,
gaya tarik bumi.
2. sikap,
gerakan, seprti dalam tingkah laku, misalnya gaya tarik, gaya hidup.
3. irama,
lagu, seperti dalam music, misalnya gaya musik Barat.
4. cara
melakukan, seperti dalam olahraga, gaya renang, gaya dada.
5. ragam,
cara, seperti dalam bangunan, seperti bangunan gaya eropa.
6. cara
yang khas, seperti pemakaian bahasa dalam karya sastra, misalnya inversi.
Stilistika
meneliti ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra, ciri-ciri yang
membedakan atau mempertentangkannya dengan wacana nonsastra, meneliti deviasi
terhadap tata bahasa sebagai sarana literer. Singkatnya, stilistika meneliti
fungsi puitik suatu bahasa.
Dikaitkan
dengan masyarakat kontemporer, di dalamnya terjadi perkembangan berbagai aspek
kehidupan secara dinamis, khususnya sebagai akibat kemajuan teknologi
komunikasi, stilistika memasuki hampir keseluruhan aspek kehidupan manusia
Meskipun demikian, khususnya dalam kaitannya dengan teori sastra, stilistika
kurang memperoleh perhatian. Pada umumnya stilistika lebih banyak dibicarakan
dalam ilmu bahasa, yaitu dalam bentuk deskripsi berbagai jenis gaya bahasa.
2.2
Hakikat dan Pengertian Stilistika
Stilistika menurut Unar Yunus dalam
Imron, 2008 : 4 yaitu studi mengenai pemakaian bahasa dalam karya sastra.
Stilistika dipakai sebagai ilmu gabung yakni linguistik dan ilmu sastra.
Menurut Leech dan Short dalam imron berpendapat stilistika adalah ilmu tentang
wujud performansi kebahasaan khususnya yang terdapat dalam karya sastra.
Beberapa definisi yang perlu
dipertimbangkan (kutha Ratna, 2007;236) sebagai berikut : Ilmu tentang gaya
bahasa, Ilmu interdisipliner antara linguistik dengan sastra, Ilmu tentang
penerapan kaidah-kaidah linguistik dalam penelitian gaya bahasa, Ilmu yang
menyelidiki pemakaian bahasa dalam karya sastra, dan Ilmu yang menyelidiki
pemakaian bahasa dalam karya sastra, dengan mempertimbangkan aspek-aspek
keindahannya sekaligus latar belakang sosialnya.
Leech & Short mengungkapkan
bahwa stilistika merupakan kajian tentang stile, kajian terhadap wujud
performasi kebahasaan khususnya yang terdapat di teks-teks kesastraan. Kini
dalam kajian akademik pendekatan stilistika sering dibedakan ke dalam kajian
bahasa sastra dan nonsastra (Nurgiyantoro, 2014: 75).
Kajian stilistika dimaksudkan untuk menjelaskan fungsi
keindahan penggunaan bentuk kebahasaan tertentu mulai dari aspek bunyi,
leksikal, struktur, bahasa figuratif, sarana retorika sampai grafologi. Selain
itu, kajian stilistika juga bertujuan untuk menentukan seberapa jauh dan dalam
hal apa serta bagaimana pengarang mempergunakan tanda-tanda linguistik untuk
memperoleh efek khusus (Nurgiyantoro, 2014: 75-76).
2.3
Pendekatan Stilistika
Pendekatan stilistika di dalam kritik sastra bertolak dari
pandangan bahwa isi pokok karya sastra itu ada dua, yang pertama adalah bahasa
dan kedua adalah isi yang berupa tema, pemikiran, dan falsafah. Pendekatan
stilistika menganut paham bahwa unsur pokok sastra adalah bahasa. Bahasa yang
digunakan dalam karya sastra itu mempunyai kaitan pula dengan sastrawan.
Sastrawan mengerahkan kemampuan dan kreativitas masing-masing dalam menciptakan
karya mereka. Dengan kata lain, pendekatan stilistika berarti asumsi dasar yang
digunakan oleh kritikus dalam menilai suatu karya sastra ditinjau dari segi
kebahasaannya.
2.3.1 Pendekatan Dualisme
Dualisme (dualism)
berasal dari kata Latin yaitu duo (dua). Dualisme adalah ajaran yang
menyatakan realitas itu terdiri dari dua substansi yang berlainan dan bertolak
belakang. Masing-masing substansi bersifat unik dan tidak dapat direduksi,
misalnya substansi adi kodrati dengan kodrati, Tuhan dengan alam semesta, roh
dengan materi, jiwa dengan badan dll. Ada pula yang mengatakan bahwa dualisme
adalah ajaran yang menggabungkan antara idealisme dan materialisme, dengan
mengatakan bahwa alam wujud ini terdiri dari dua hakikat sebagai sumber yaitu
hakikat materi dan ruhani.
Dapat
dikatakan pula bahwa dualisme adalah paham yang memiliki ajaran bahwa segala
sesuatu yang ada, bersumber dari dua hakikat atau substansi yang berdiri
sendiri-sendiri. Orang yang pertama kali menggunakan konsep dualisme adalah Thomas
Hyde (1700), yang mengungkapkan bahwa antara zat dan kesadaran (pikiran)
yang berbeda secara subtantif. Jadi adanya segala sesuatu terdiri dari dua hal
yaitu zat dan pikiran. Yang termasuk dalam aliran ini adalah Plato (427-347
SM), yang mengatakan bahwa dunia lahir adalah dunia pengalaman yang selalu
berubah-ubah dan berwarna-warni. Semua itu adalah bayangan dari dunia idea.
Sebagai bayangan, hakikatnya hanya tiruan dari yang asli yaitu idea. Karenanya
maka dunia ini berubah-ubah dan bermacam-macam sebab hanyalah merupakan tiruan
yang tidak sempurna dari idea yang sifatnya bagi dunia pengalaman.
Barang-barang yang ada di dunia ini semua ada contohnya yang ideal di dunia
idea sana (dunia idea).
Lebih lanjut
Plato mengakui adanya dua substansi yang masing-masing mandiri dan tidak saling
bergantung yakni dunia yang dapat diindera dan dunia yang dapat dimengerti,
dunia tipe kedua adalah dunia idea yang bersifat kekal dan hanya ada satu.
Sedang dunia tipe pertama adalah dunia nyata yang selalu berubah dan tak
sempurna. Apa yang dikatakan Plato dapat dimengerti seperti yang dibahasakan
oleh Surajiyo (2005), bahwa dia membedakan antara dunia indera (dunia
bayang-bayang) dan dunia ide (dunia yang terbuka bagi rasio manusia). Rene
Descartes (1596-1650 M) seorang filsuf Prancis, mengatakan bahwa pembeda antara
dua substansi yaitu substansi pikiran dan substansi luasan (badan). Jiwa dan
badan merupakan dua sebstansi terpisah meskipun didalam diri manusia mereka
berhubungan sangat erat.
Dapat
dimengerti bahwa dia membedakan antara substansi pikiran dan substansi keluasan
(badan). Maka menurutnya yang bersifat nyata adalah pikiran. Sebab dengan
berpikirlah maka sesuatu lantas ada, cogito ergo sum! (saya berpikir
maka saya ada). Leibniz (1646-1716) yang membedakan antara dunia yang
sesungguhnya dan dunia yang mungkin. Immanuel Kant (1724-1804) yang membedakan
antara dunia gejala (fenomena) dan dunia hakiki (noumena).
Pedekatan
Dualisme dalam stile, Stile biasanya diidentifikasikan sebagai
perbedaan antara apa yang dikatakan dan bagaimana cara mengatakan, atau antara
unsur isi dan bentuk teks. Di satu sisi, unsur isi menunjuk sisi lain, unsur
bentuk adalah variasi cara penyajian informasi yang berkualitas estetis atau
yang mampu membangkitkan tanggapan emosional pembaca. Kelompok yang
berpandangan bahwa stile merupakan cara menulis, cara berekspresi dan
membedakannya dengan unsur bentuk dan isi disebut (aliran) dualisme.
Stile dapat
dipisahkan dan dibekan dengan aspek muatan makna.Aspek muatan makna, isi,
gagasan, pikiran, dan perasaan yang sama dapat diekspresikan ke dalam bentuk
ungkapan bahasa yang berbeda. Itu artinya adalah stile berbeda. Sebuah pesan
dapat diungkapkan dengan cara lugas, tanpa “stile” yang berpretensi untuk
mencari efek estetis, atau sebaliknya dengan memanfaatkan bentuk-bentuk bahasa
figuratif. Cara penuturan yang demikian pun pada hakikatnya juga merupakan
suatu teknik berstile juga, yaitu cara berekspresi secara lugas, apa adanya,
atau sebaliknya, dengan cara didayakan dengan ungkapan-ungkapan indah.
Masalah stile
adalah masalah pilihan cara pengungkapan (bahasa) yang tidak
perlu melibatkan muatan makna. Muatan makna adalah hal yang berbeda. Artinya,
orang boleh memilih cara-cara berekspresi sesuai dengan yang diinginkannya.
Muatan makna bisa tetap sama namun, seseorang boleh memilih bentuk pengucapan
yang berbeda-beda. Jika ada dua orang yang mengekspresikan hal yang sama,
lazimnya stile yang dipakai tidak sama dan itu haruslah dipandang sebagai stile
yang berbeda. Bahkan sebuah teks kesastraan dapat diubah dengan stile yang
berbeda tanpa mengubah substansi makna. Dari segi muatan makna yang dikandung
hal itu dipandang tidak berbda namun, dari sisi stile itu adalah sesuatu yang
berbeda.
Contoh.
Misalnya sebuah fakta : “Ada gadis desa yang cantik dan diminati banyak
pemuda”. Ini adalah aspek isi, sedang cara mengungkapkan dapat bervariasi.
Misalnya sebagai berikut. (i) Gadis desa yang cantik itu disenangi banyak
pemuda. (ii) Gadis desa yang cantik bagaikan semerbak bunga harum
mewangi itu mengundang para pemuda untuk memperebutkannya. (iii)Bunga
desa yang menawan itu membuat para pemuda memikirkan untuk memilikinya. (iv)
Bunga desa yang semerbak mewangi terbawa angin itu mengundang banyak kumbang
datang yang ingin mengucup sari madunya. (v) dan lain-lain dengan banyak
kemungkinan.
Sebagai
konsekuensi pandangan ini kita dapat mengubah sebuah teks sastra menjadi teks
lain tanpa mengubah substansi makna. Demikian juga misalnya kita dapat mengubah
teks fiksi yang naratif menjadi teks dialog seperti dalam drama atau sebaliknya
mengubah teks dialog drama menjadi teks naratif-fiksi. Hasil kerja pengubahan
itu juga menghasilkan teks-teks dengan stile yang berbeda dengan teks aslinya.
Tugas pengubahan genre sastra menjadi genre yang berbeda itu banyak dilakukan
di sekolah. Selain itu, terhadap puisi kita juga dapat membyat parafrasenya.
Tugas seperti ini juga banyak dilakukan di sekolah dalam rangka memahami lebih
baik sebuah puisi dan sekaligus melatih peserta didik mengembangkan stile
sendiri. Sebagai contoh pembicaraan, misalnya kita ambil dua bait puisi “isi”
Khairil anwar berikut.
Isa
Itu tubuh
mengucur darah
mengucur darah
rubuh
patah
....
Secara keseluruhan puisi itu berbicara tentang
penderitaan Isa yang disalib untuk menebus dosa umat, sikap penyair dan
dampaknya bagi dunia. Kedua bait puisi tersebut dapat diungkapkan dengan cara
lain, yaitu dengan cara prosa atau dibuat parafrasenya. Misalnya : (i) Dari
Tubuh orang yang disalib itu, terlihat ada banyak darah yang mengucur
sampai-sampai orang itu rubuh tidak berdaya. (ii) Ada banyak darah yang
mengucur dari tubuh orang yang disalib itu sampai-sampai ia tidak berdaya sama
sekali. (iii) Orang yang disalib itu terlihat mengalami penderitaan yang
luar biasa, tubuhnya mengucurkan banyak darah dan terlihat bahwa dia sudah
tidak berdaya. Keempat kalimat tersebut harus dilihat sebagai stile yang
berbeda walau substansi maknanya tidak berbeda.
2.3.2 Pendekatan Monisme
Monisme (monism) berasal dari
kata Yunani yaitu monos (sendiri, tunggal) secara istilah monisme adalah
suatu paham yang berpendapat bahwa unsur pokok dari segala sesuatu adalah unsur
yang bersifat tunggal/ Esa. Unsur dasariah ini bisa berupa materi, pikiran,
Allah, energi dll. Bagi kaum materialis unsur itu adalah materi, sedang bagi
kaum idealis unsur itu roh atau ide. Orang yang mula-mula menggunakan
terminologi monisme adalah Christian Wolff (1679-1754). Dalam aliran ini
tidak dibedakan antara pikiran dan zat. Mereka hanya berbeda dalam gejala
disebabkan proses yang berlainan namun mempunyai subtansi yang sama. Ibarat zat
dan energi dalam teori relativitas Enstein, energi hanya merupakan bentuk lain
dari zat, atau dengan
kata lain bahwa aliran monisme menyatakan bahwa hanya ada satu kenyataan yang
fundamental.
Adapun para filsuf yang menjadi
tokoh dalam aliran ini antara lain: Thales (625-545 SM), yang menyatakan bahwa
kenyataan yang terdalam adalah satu subtansi yaitu air. Pendapat ini yang
disimpulkan oleh Aristoteles (384-322 SM) , yang mengatakan bahwa semuanya itu
air. Air yang cair itu merupakan pangkal, pokok dan dasar (principle)
segala-galanya. Semua barang terjadi dari air dan semuanya kembali kepada air
pula. Bahkan bumi yang menjadi tempat tinggal manusia di dunia, sebagaian besar
terdiri dari air yang terbentang luas di lautan dan di sungai-sungai. Bahkan
dalam diri manusiapun, menurut dr Sagiran, unsur penyusunnya sebagian besar
berasal dari air. Tidak heran jika Thales, berkonklusi bahwa segala sesuatu
adalah air, karena memang semua mahluk hidup membutuhkan air dan jika tidak ada
air maka tidak ada kehidupan.
Sementara itu Anaximandros (610-547
SM) menyatakan bahwa prinsip dasar alam haruslah dari jenis yang tak terhitung
dan tak terbatas yang disebutnya sebagai apeiron yaitu suatu zat yang
tak terhingga dan tak terbatas dan tidak dapat dirupakan dan tidak ada
persamaannya dengan suatu apapun. Berbeda dengan gurunya Thales, Anaximandros,
menyatakan bahwa dasar alam memang satu akan tetapi prinsip dasar tersebut
bukanlah dari jenis benda alam seperti air. Karena menurutnya segala yang
tampak (benda) terasa dibatasi oleh lawannya seperti panas dibatasi oleh yang
dingin. Aperion yang dimaksud Anaximandros, oleh orang Islam disebutnya
sebagai Allah. Jadi bisa dikatakan bahwa pendapat Anaximandros yang mengatakan
bahwa terbentuknya alam dari jenis yang tak terbatas dan tak terhitung,
dibentuk oleh Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini pula yang dikatakan Ahmad Syadali
dan Mudzakir (1997) bahwa yang dimaksud aperion adalah Tuhan.
Anaximenes (585-494 SM), menyatakan
bahwa barang yang asal itu mestilah satu yang ada dan tampak (yang dapat
diindera). Barang yang asal itu yaitu udara. Udara itu adalah yang satu dan
tidak terhingga. Karena udara menjadi sebab segala yang hidup. Jika tidak ada
udara maka tidak ada yang hidup. Pikiran kearah itu barang kali dipengaruhi
oleh gurunya Anaximandros, yang pernah menyatakan bahwa jiwa itu serupa dengan
udara. Sebagai kesimpulan ajaranya dikatakan bahwa sebagaimana jiwa kita yang
tidak lain dari udara, menyatukan tubuh kita. Demikian udara mengikat dunia ini
menjadi satu. Sedang filsuf moderen yang menganut aliran ini adalah B.
Spinoza yang berpendapat bahwa hanya ada satu substansi yaitu Tuhan. Dalam
hal ini Tuhan diidentikan dengan alam (naturans naturata).
Pendekatan
Monisme dalam stile. Berbeda halnya dengan pendekatan dualisme, pendekatan
monisme tidak membedakan unsur bentuk dan isi serta memandang keduanya sebagai
satu kesatuan yang erat. Pendekatan monisme beranggapan bahwa pemilihan isi
sekaligus berarti pemilihan menentukan bentuk (Lecch & Short, 2007:17 dalam
Nurgiyantoro). Demikian sebaliknya pemilihan bentuk sekaligus berarti pemilihan
isi. Isi dan bentuk merupakan sebuah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Sebuah isi, muatan makna, hanya dapat dan tepat diungkapkan dengan satu bentuk
dan bentuk itulah yang dipilih oleh pengarang. Jika isi atau muatan makna
tersebut disobaungkapkan dengan bentuk lain, muatan maknanya pasti akan
berubah.
Sebuah
stile tidak mungkin diungkapkan dengan cara lain tanpa kehilangan nuansa makna.
Tidak ada dua stile yang sama-sama memuat muatan makna yang sama. Jika sebuah
teks dibuat parafrasenya atau diubah dengan cara lain, itu berarti juga
mengubah muatan makna. Pengubahan teks yang bersudut pandang dia menjadi muatan
makna. Pengubahan teks yang bersudut pandang dia menjadi aku, dan dari gaya aku
menjadi dia sebagaimana dicontohkan sebelumnya, itu tidak dapat diterima karena
berarti mengubah makna. Demikian pula membuat parafrase puisi. Puisi tidak
dapat dibuat parafrasenya tanpa mengubah ketepatan makna, bahkan dapat
menghilangkan makna penting, nuansa makna, atau jangkauan makna yang lebih
luas.
Sebagai
konsekuensi pendekatan monisme yang demikian kita tidak mungkin menganalisi
stile dalam suatu wacana. Kita tidak dibenarkan menganalisis aspek bahasa tanpa
membicarakan makna. Selain itu stile yang dipilih oleh pengarang itu dipandang
sebagai bentuk terbaik dari yang tersedia dalam bahasa itu. Sebenarnya dalam
pendekatan dualisme pun kerja analisis juga tidak boleh mengabaikan konteks dan
muatan makna. Muatan makna yang sama dapat diekspresikan ke dalam berbagai
bentuk ungakapan. Stile justru dipandang sebagai bentuk terbaik dari berbagai
kesejajarannya yang dimungkinkan.
2.2.3 Pendekatan Pluralisme
Pluralisme (Pluralism)
berasal dari kata Pluralis (jamak). Aliran ini menyatakan bahwa realitas
tidak terdiri dari satu substansi atau dua substansi tetapi banyak substansi
yang bersifat independen satu sama lain. Sebagai konsekuensinya alam semesta
pada dasarnya tidak memiliki kesatuan, kontinuitas, harmonis dan tatanan yang
koheren, rasional, fundamental.
Didalamnya
hanya terdapat pelbagi jenis tingkatan dan dimensi yang tidak dapat diredusir.
Pandangan demikian mencangkup puluhan teori, beberapa diantaranya teori para
filosuf yunani kuno yang menganggap kenyataan terdiri dari udara, tanah, api
dan air. Dari pemahaman di atas dapat dikemukakan bahwa aliran ini tidak
mengakui adanya satu substansi atau dua substansi melainkan banyak substansi,
karena menurutnya manusia tidak hanya terdiri dari jasmani dan rohani tetapi
juga tersusun dari api, tanah dan udara yang merupakan unsur substansial dari
segala wujud.
Pluralisme
adalah suatu paham atau pandangan hidup yang mengakui dan menerima adanya
“kemajemukan” atau “keanekaragaman” dalam suatu kelompok masyarakat.
kemajemukan dimaksud misalnya dilihat dari segi agama, suku, ras,
adat-istiadat, dll. segi-segi inilah yang biasanya menjadi dasar pembentukan
aneka macam kelompok lebih kecil, terbatas dan khas, serta yang mencirikhaskan
dan membedakan kelompok yang satu dengan kelompok yang lain, dalam suatu
kelompok masyarakat yang majemuk dan yang lebih besar atau lebih luas. misalnya
masyarakat indonesia yang majemuk, yang terdiri dari pelbagai kelompok umat
beragama, suku, dan ras, yang memiliki aneka macam budaya atau adat-istiadat.
begitu pula masyarakat maluku yang majemuk, ataupun masyarakat aru yang
majemuk.
Penerimaan
kemajemukan berarti menerima adanya perbedaan. menerima perbedaan bukan berarti
menyamaratakan, tetapi justeru mengakui bahwa ada hal atau ada hal-hal yang
tidak sama. menerima kemajemukan (misalnya dalam bidang agama) bukanlah berarti
bahwa membuat “penggabungan gado-gado”, dimana kekhasan masing-masing terlebur
atau hilang. kemajemukan juga bukan berarti “tercampur baur” dalam satu “frame”
atau “adonan”. justeru di dalam pluralisme atau kemajemukan, kekhasan yang
membedakan hal (agama) yang satu dengan yang lain tetap ada dan tetap
dipertahankan.
Pluralism
berbeda dengan sinkritisme (penggabungan) dan assimilasi atau akulturasi
(penyingkiran). juga pluralisme tidak persis sama dengan inkulturasi, kendati
di dalam pluralisme atau kemajemukan bisa terjadi inkulturasi dimana keaslian
tetap dipertahankan.
Para filsuf
yang termasuk dalam aliran ini antara lain: Empedakles (490-430 SM), yang menyatakan
hakikat kenyataan terdiri dari empat unsur, yaitu api, udara, air dan tanah.
Anaxogoras (500-428 SM), yang menyatakan hakikat kenyataan terdiri dari
unsur-unsur yang tidak terhitung banyaknya, sebab jumlah sifat benda dan
semuanya dikuasai oleh suatu tenaga yang dinamakannodus yaitu suatu zat
yang paling halus yang memiliki sifat pandai bergerak dan mengatur.
Dasar Pluralisme(penerimaan
kemajemukan)
1.
Dasar Filosofis : Kemanusiaan
Penerimaan kemajemukan dalam paham
pluralisme adalah sesuatu yang mutlak, tidak dapat ditawar-tawar. hal ini
merupakan konsekwensi dari kemanusiaan. manusia pada dasarnya adalah makhluk
sosial yang mempunyai harkat dan martabat yang sama, mempunyai unsur-unsur
essensial (inti sari) serta tujuan atau cita-cita hidup terdalam yang sama,
yakni damai sejahtera lahir dan batin. namun dari lain sisi, manusia berbeda
satu sama lain, baik secara individual atau perorangan maupun komunal atau
kelompok, dari segi eksistensi atau perwujudan/pengungkapan diri, tata hidup
dan tujuan hidup. Sedangkan secara faktual dan historis, manusia yang sama
secara essensial dan berbeda secara eksistensial itu pada hakekatnya adalah
makhluk sosial yang hidup bersama, saling membutuhkan, dan saling tergantung
satu sama lain, baik secara perorangan/individual maupun secara
kelompok/komunal. oleh sebab itu suka atau tidak suka, mau atau tidak mau,
kemajemukan harus diterima karena dan demi kemanusiaan. pluralisme atau adanya
dan penerimaan akan kemajemukan merupakan konsekwensi dari kemanusiaan. Adanya
kemajemukan merupakan suatu fakta sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang
tidak dapat ditolak dalam sejarah hidup manusia, baik secara lokal maupun
nasional dan internasional.
2.
Dasar Sosial Kemasyarakatan dan Budaya
Pengakuan akan adanya dan penerimaan
akan kemajemukan merupakan konsekwensi dan konsistensi komitmen sosial maupun
konstitusional sebagai suatu masyarakat (suku, bangsa, bahkan dunia), yang
berbudaya.kemajemukan merupakan konsekwensi dari hakekat manusia sebagai
makhluk sosial, yang dari satu segi memiliki kesamaan essensial tetapi dari
lain segi ada perbedaan eksistensial, maka pada hakekatnya adanya dan kekhasan
atau identitas suatu kelompok masyarakat (entah lokal, nasional, dan
internasional) akan hilang bila tidak ada atau ditiadakan atau ditolak
kemajemukan. jadi kemajemukan merupakan unsur penentu bagi adanya dan kekhasan
dari suatu masyarakat. oleh sebab itu dalam sejarah pembentukan dan kehidupan
setiap kelompok masyarakat senantiasa ada kesadaran dan pengakuan akan adanya
kemajemukan, serta ada komitmen untuk menerima dan tetap mempertahankan
kemajemukan secara konsekwen dan konsisten.
Misalnya sejarah perjuangan
kehidupan masyarakat indoensia, baik secara lokal maupun nasional, telah
dicirikhaskan dengan kesadaran akan adanya serta komitmen akan penerimaan
kemajemukan secara konsekwen dan konsisten. sumpah pemuda serta pelbagai macam
perjuangan untuk mendirikan dan mempertahankan negara kesatuan republik
indonesia (nkri) dari masa ke masa merupakan fakta sejarah nasional bangsa
indonesia akan adanya serta komitmen untuk menerima dan mempertahankan
kemajemukan masyarakat indonesia. begitu pula pancasila dan uud 45 mencerminkan
kesadaran, komitmen, pandangan hidup serta sikap hidup yang sama. pancasila dan
uud 45 merupakan bukti konstitusional nasional tentang pluralisme di indonesia.
3.
Dasar Teologis
Dalam suatu masyarakat agamawi –
seperti masyarakat indonesia –, kendati ada pelbagai macam agama yang berbeda
dalam pelbagai aspek atau unsur-unsurnya, namun kemajemukan seyogyanya harus
diterima, sebagai konsekwensi dari nilai-nilai luhur dan gambaran “sang ilahi”
(allah) yang maha baik serta cita-cita atau tujuan mulia dari setiap agama dan
para penganutnya.
Dari hasil kajian, misalnya oleh ilmu perbandingan
perbandingan agama-agama, dapat kita ketahui bahwa:
– Segi ada
kesamaan. misalnya dalam setiap agama ada gambaran dan ajaran tentang “sang
ilahi” (“allah” atau sebutan lainnya) sebagai yang maha baik, maha sempurna,
maha kuasa, asal dan tujuan hidup akhir dari manusia dan segala sesuatu yang
baik. juga ada gambaran tentang “surga”, kebahagiaan, ketenteraman, damai
sejahtera, dll yang merupakan cita-cita dan tujuan akhir hidup setiap orang.
– Segi lain ada
rupa-rupa perbedaan karena adanya perbedaan persepsi serta keterbatasan manusia
dalam upaya “mendalami” dan memahami serta menjalin hubungan dengan “sang
ilahi” yang tidak terbatas dan tidak terjangkau daya tangkap insani manusia.
oleh sebab itu timbulah aneka macam
iman kepercayaan dan agama. maka sudah seyogyanya kemajemukan agama harus
diterima, sebagai konsekwensi dari adanya iman dan agama.
4.
Konsekuensi dan
manfaat dari pluralisme (adanya dan penerimaan kemajemukan)
dengan adanya dan penerimaan akan kemajemukan, maka
dengan sendirinya harus:
- Ditolak
pelbagai paham, sikap dan praktek hidup yang mengandung unsur-unsur
diskriminasi, fanatisme, premordialisme dan kekerasan atau terorisme.
- Dijamin
penuh kebebasan dan keadilan.
- Setiap
kelompok (maupun oknum anggota kelompok) yang berbeda saling :Memberi
ruang atau kesempatan untuk mewujudkan dan mengembangkan “diri”nya dan
cita-cita atau tujuan hidupnya masing-masing sebagaimana adanya dan
mestinya, menghargai / menghormati, belajar untuk memahami dengan lebih
baik, menunjang dan memperkaya.
- Perbedaan
tidak perlu dan tidak boleh dilihat dan dijadikan sebagai “sumber”
pertentangan dan perpecahan, tetapi sebagai kekayaan dan pendorong untuk
kerukunan dan perdamaian serta kesatuan dan kerjasama.
Beberapa kebutuhan atau cara untuk memelihara
kemajemukan secara internal penguatan internal melalui :
– Pendalaman dan
pemahaman identitas sendiri dengan lebih tepat, mendalam dan lengkap misalnya,
apabila seseorang atau sekelompok umat beragama mempunyai pemahaman yang salah,
atau keliru dan tidak lengkap tentang agama dan iman yang diwarisi, akan
menimbulkan penyimpangan dan ekstrimisme atau fanatisme yang salah, baik pada
tataran konsep atau pemahaman dan keyakinan (batiniah) maupun pada tataran
praksis atau sikap dan tindakan dalam hidup (lahiriah). hal ini tentu akan
sangat mengganggu keharmonisan, kerukunan, toleransi, ketenteraman, kedamaian,
persekutuan dan kerjasama dalam antar maupun inter umat umat beragama.
kemajemukan akan terganggu dan sulit diterima oleh orang-orang sedemikian. oleh
sebab itu pendalaman agama dan iman secara tepat dan lengkap.
– Pendewasaan dan peningkatan kwalitas diri (sebagai manusia
pada umumnya maupun secara khusus sebagai orang beragama dan beriman, beradat
dan berbudaya, berakhlak dan bermoral, berbangsa dan bernegara) melalui
pengajaran, pelatihan dan pembinaan untuk meningkatan penetahuan, ketrampilan
dan kepribadian, dengan penekanan pada pengakaran nilai-nilai hidup
(kemanusiaan, keagamaan/keimanan, kebudayaan, dan kemasyarakatan/ kenegaraan)
serta penerapannya dalam parktek hidup sehari-hari.
Bila orang sungguh-sungguh memiliki
nilai-nilai hidup (misalnya kemanusiaan dan keagamaan serta keimanan) secara
benar, utuh, mendalam, konsekwen dan konsisten, dalam arti memahami, menghayati
dan mengamalkan atau mewujudkan nilai-nilai tersebut secara memadai, matang dan
baik kepribadiannya dari pelbagai aspek, maka keharmonisan, kerukunan,
kedamaian, persatuan dan kerjasama dalam kemajemukan akan terjamin selalu.
– Revitalisasi (pemantapan “diri”, posisi,
peran/fungsi/makna) melalui: introspeksi, koreksi atau pembaharuan, pelestarian
dan pengembangan internal secara kontekstual dan berkelanjutan.
Sistem-sistem nilai dan praktek
hidup seperti agama, adat-istiadat dll pada dasarnya bersifat fungsional dan
kontekstual dalam sejarah hidup manusia yang berubah dari masa ke masa. oleh
sebab itu hal-hal tersebut yang membuat adanya kemajemukan dalam suatu
masyarakat senantiasa perlu diteropongi secara kritis dari dalam, dikoreksi dan
diperbaharui, dilestarikan dan dikembangkan secara kontekstual dan
berkelanjutan seiring sejalan dengan perubahan zaman. hal ini mutlak perlu agar
sistim-sistim yang ada mempunyai tempat dan makna serta berdaya-guna dalam
kehidupan manusia secara memadai.
secara eksternal :
- Pengenalan/pendalaman dan pemahaman satu sama
lain melalui dialog (komunikasi), keterbukaan dan proses belajar timbal
balik, secara proporsional.
- Membangun hidup bersama yang rukun dan toleran
dalam suasana persaudaraan lintas kelompok yang berbeda secara
berkelanjutan.
- Menanamkan dan mengembangkan kejujuran, ketulusan
dan kepercayaan satu sama lain.
- Mencari dan mengembangkan bersama “simpul”
kerukunan dan kesatuan dalam kemajemukan.
- Mengembangkan solidaritas soslal dan persaudaraan
sejati lintas kelompok yang berbeda (agama, suku, ras, dll) dalam tindakan
konkrit atau praktek hidup yang nyata dan aktual.
- Membangun kerjasama lintas kelompok yang berbeda
dalam bidang pendidikan (pengajaran, pelatihan dan pembinaan formal maupun
non-fromal), ekonomi, sosial karitatif, sosial budaya dan politik.
Pendekatan
ini memiliki sejumlah komponen yang menjadi bagian stile sebuah penuturan.
Pendekatan pluralisme mendasarkan diri pada fungsi-fungsi bahasa, khususnya
fungsi bahasa menurut Jakobson yang terdiri dari enam macam, yaitu fungsi referensial,
emotif, konatif, patik, puitis, dan metalinguistik yang sebagaimana sejajar
dengan enam faktor bahasa.
Pendekatan pluralisme berangkat dari
pandangan Halliday yang membedakan bahasa kedalam puisi, yaitu puisi
ideasional, tekstual, dan interpersonal (Leeech & Short, 2007:25-26). Puisi
ideasional dan tekstual dapat disejajarkan dengan isi dan bentuk dengan
pendekatan dualisme. Fungsi ideasional sejajar dengan aspek muatan makna,
sedang fungsi tekstual adalah stle, bentuk bahasa yang dipilih dan dapat
diubah-ubah. Fungsi interpersonal menyangkut hubungan antara bahasa dan
pemakainya yang dapat meliputi fungsi afektif, emotif, dan persuatif. Fungsi
yang ketiga tidak ditemukan dalam pandangan dualisme.
2.4 Ruang
Lingkup Penelitian Stilistika
Ruang
lingkup penelitian stilistika sangat luas (Hough, 1972:31-39), dianggap
sebagai tugas yang tidak mungkin untuk
dilakukan, lebih-lebih apabila dikaitkan dengan pengertian gaya bahasa secara
luas, yaitu bahasa itu sendiri, karya sastra, karya seni, dan bahasa
sehari-hari, termasuk ilmu pengetahuan.
Untuk
membatasinya ruang lingkup dibedakan menjadi dua macam, yaitu a) ruang lingkup
dalam kaitannya dengan objek stilistika itu sendiri,dan b) ruang lingkup dalam kaitannya dengan objek yang mungkin
dilakukan dalam suatu aktivas penelitian. Di antara tiga genre sastra modern,
puisilah yang paling sering digunakan sebagai objek penelitian stilistika.
Ketiga genre jelas mempermasalahkan bahasa. Meskipun demikian, ketiganya
mempunyai perbedaan, yang dengan sendirinya merupakan ciri utama dalam
kaitannya dengan penggalian sumber sekaligus pembatasan jangkauan penelitian.
Ciri khas puisi adalah kepadatan pemakain bahasa sehingga paling besar
kemungkinannya untuk menampilkan ciri-ciri stilistika. Ciri khas prosa adalah plot, sedangkan ciri khas
drama adalah dialog.Oleh karena itulah, unsur-unsur gaya bahasa dalam kedua
genre terakhir harus dicari dalam kaitannya dengan plot dan dialog.
Penelitiandibedakanmenjadiduamacamyaitustilistikasastra
lama danstilistikasastra modern.Sastra lama adalahkaryasastra yang
menggunakanbahasadaerah, sedangkansastra modern adalahkarya-karya yang
menggunakanbahasa Indonesia.Padaumumnyadisepakatibahwasastra Indonesia modern
mulaiabad ke-20.Meskipundemikiansastra lama seperti di Bali sampaisekarangmasihditulis,
tetapjeniskaryasastrainitetapmerupakanwilayahkajiansastra lama.
Denganmelihatluasnyaobjekpenelitianmakauntukmembatasinyaperludipertimbangkanpembagianwilayah-wilayahkajian,
baikdalamkaitannyadenganeksistensikaryasastraitusendirimaupunpengarangsebagaipencipta.Dikaitkandenganobjeknya,
makaruang yang paling sempitadalahkaryasastra yang secaraotonom,
sepertisebuahpuisi, cerpen, novel, drama, dansebagainya.Satu bait puisi yang
terdiriatasbeberapabarisdapatdianalisisdarisegigayabahasasebagaianalisisstilistika.
Nilaianalisissamadengansebuah novel yang terdiriatasseribuhalaman,
tergantungdarikualitaspemahamannya.
Ruanglingkup paling
jelasadalahdeskripsigayasebagaimanasidahsangatseringdilakukan yang
padaumumyadisebutsebagaianalisismajas. Berbagaijenisgayadideskripsikansekaligusdengancontoh-contohnya,
sepertiinversi, hiperbola, litotes, dansebagainya.
Padaumumnyajenispenelitianinidibedakanmenjadiduamacamyaitu.
a.
Pembicaraangayabahasasecarakhusus.
b.
Gaya
bahasadalamkaitannyadengansebuahkarya, sehinggagayamerupakanbabatausubbabtertentu.
Stilistikasastraharusmemberikanartiterhadapkarya.Olehkarenaitulah,
deskripsi yang
sudahadaharusdikembangkankestruktursosiokulturalsehinggagayaberfungsiuntukmemberikanmaknabukansemata-mataornamen.
Gaya bahasaadalahekspresilinguistikbaik
di dalampuisimaupunprosa (cerpen, novel, dan drama) menurut Abrams (1981:
190-193 ;noth 190:344)
secarateoritispenelitiandibedakanmenjadiduamacamyaitupenelitiantradisionaldan
modern. Penelitiantradisionaldipengaruhiolehdikotomiisidanbentuk.,apadanbagaimanacaramelukiskansuatuobjekisimeliputiinformasi,
pesan, danmakna professional. Sedangkanbentukadalahgayabahasaitusendiri.
Stilistika modern menganalisiciri-ciri formal, diantaranyafonologi, sintaksis,
leksikal, danretorika.Secarapraktiskhususnyadalamkaryasastra,
ruangingkupstilistikaadalahdeskripsipenggunaanbahasasecarakhas.
2.5 Tujuan
Kajian Stilistika
Analisis stilistika biasanya
dimaksudkan untuk menerangkan sesuatu yang pada umumnya dalam dunia kesastraan
untuk menerangkan hubungan bahasa dengan fungsi artistik dan maknanya (Leech
dan Short, 2007: 11; Wellek dan Warren, 1989: 180).
Kajian stilistika dimaksudkan untuk
menjelaskan fungsi keindahan penggunaan bentuk kebahasaan tertentu mulai dari
aspek bunyi, leksikal, struktur, bahasa figuratif, sarana retorika, sampai
grafologi. Di samping itu, kajian
stilistika dapat juga bertujuan untuk menentukan seberapa jauh dan dalam hal
apa serta bagaimana pengarang mempergunakan tanda-tanda lingustik untuk
memperoleh efek khusus.
Kajianstilistikadapatjugabertujuanuntukmenentukansebarajauhdandalamhalapasertabagaimanapengarangmempergunakantanda-tanda
linguistic untukmemperolehefekkhususatauefekestetis yang
akandicapailewatpemilihanbentuk-bentukkebahasaantersebut.
Kajianstilistikapadahakikatnyaadalahaktivitasmengeksplorasibhasaterutamamengeksplorasipenggunaanbahasa.
(Simson 2004:3).
Tujuankajianstilistikakesastraanmisalnyadapatdilakukandengan
(mengajukandan) menjawabpertanyaan-pertanyaanseperti
“mengapapengarangdalammengekspresikandirinyamemilihcarakhusus?” atau
“apakahpemilihanbentuk-bentukabahasatertentudapatmemabngkitkanestetis?”
dengandemikianstilistikakesastraanmerupakansebuahpendakatankaryasastra (Abrams
1999:35) jikakajianitudilakukanpadabahasasastra.
2.6 Fungsi dan Kegunaan Stilistika Dalam Karya Sastra
Dikaitkan
dengan genre utama sastra yaitu puisi, prosa dan drama, gaya bahasa paling
dominan dalam puisi. Gaya dengan demikian mendominasi struktur puisi. Dengan
kalimat lain, puisi seolah-seolah merupakan struktur gaya bahasa selain puisi
naratif, puisi pada dasarnya tidak menampilkan cerita puisi hanya melukiskan
tema,irama, rima, dan gaya bahasa itu sendiri. Dengan cara berbeda puisi
konkret puisi konkret harus dipahami dalam kaitannya dengan struktur
visualisasi, di dalamnya kata-kata dianggap tidak mampu untuk mewakili ide
pengarang. Olehkarena itulah kata-kata harus dikembalikan pada suku kata, huruf
dan bunyi bahkan sebagai citra tertentu. Harus diakui bahwa Indonesia kaya
dengan jenis sastra terikat, baik sastra lama maupun modern.
Gaya
bahasa sebagai sistem
Unsur
utama karya sastra adalah bahasa. Baik bahasa lisan maupun bahasa tulisan
adalah alat untuk memisahkan sekaligus menunjukkan keumuman lepas dari
unsur-unsur yang membangunnya. Keseluruhan kehidupan ini adalah bahasa dapat
diwujudkan dan dipahami melalui bahasa. Di samping sebagai sistem tanda, karya
sastra adalah sistem komunikasi. Baik sebagai sistem makro maupun mikro.
medium utama karya sastra jelas bahasa, baik lisan maupun tulisan. Tanpa bahasa tidak ada karya sastra. Meskipun demikian system sastra tidak seketat system bahasa. System terikat dengan tata bahasa (fonologi, morfologi, sintaksis), ejaan (penggunaan huruf, penulisan huruf, penulisan kata, penulisan usur serapan, penggunaan tanda-tanda baca, dan sebagainya). Dalam penggunaanya misalnya ada bahasa baku, bahasa ilmiah, bahasa dengan makna yang relative sama pada setiap orang, sehingga diharapkan tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda, baik antara pengirim dengan penerima maupun di antara para penerima itu sendiri. Sebaliknya dalam karya sastra sebagai tata sastra sistemnya terbuka. Oleh karena itulah penulis dimungkinkan untuk memanipulasi sistem bahasa, menyembunyikan makna yang sesungguhnya bahkan menciptakan segala sesuatu yang sebelumnya belum pernah ada. Untuk mencapai kualitas estetis penulis memiliki kebebasan yang disebut sebagai kebebasan penyair. Berbeda dengan bahasa di dalamnya terjadi perbedaan yang jelas anatara sistem singkronik dan diakronik sebaliknya dalam sastra justru terjadi hubungan saling meliputi sebagai sistem dialektika.
medium utama karya sastra jelas bahasa, baik lisan maupun tulisan. Tanpa bahasa tidak ada karya sastra. Meskipun demikian system sastra tidak seketat system bahasa. System terikat dengan tata bahasa (fonologi, morfologi, sintaksis), ejaan (penggunaan huruf, penulisan huruf, penulisan kata, penulisan usur serapan, penggunaan tanda-tanda baca, dan sebagainya). Dalam penggunaanya misalnya ada bahasa baku, bahasa ilmiah, bahasa dengan makna yang relative sama pada setiap orang, sehingga diharapkan tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda, baik antara pengirim dengan penerima maupun di antara para penerima itu sendiri. Sebaliknya dalam karya sastra sebagai tata sastra sistemnya terbuka. Oleh karena itulah penulis dimungkinkan untuk memanipulasi sistem bahasa, menyembunyikan makna yang sesungguhnya bahkan menciptakan segala sesuatu yang sebelumnya belum pernah ada. Untuk mencapai kualitas estetis penulis memiliki kebebasan yang disebut sebagai kebebasan penyair. Berbeda dengan bahasa di dalamnya terjadi perbedaan yang jelas anatara sistem singkronik dan diakronik sebaliknya dalam sastra justru terjadi hubungan saling meliputi sebagai sistem dialektika.
Fungsi
utama bahasa adalah menyajikan informasi sebagaimana dimaksudkan oleh enulis,
pembawa pesan pada umumnya. Oleh karena sifatnya berupa informasi maka
tanggapan terhadapnya didasarkan atas kemampuan bahasa formal, bahasa dengan
sistem tertutup. Oleh karena itulah susunan kata-kata dan kalimatnya harus baku
sesuai dengan tata bahasa. Sebaliknya dalam karya sastra, bahasa merupakan
representasi, perwakilan ide-ide penulis dan struktur social yang
melatarbelakanginya. Sebagai perwakilan maka pada dasarnya terjadi kebebasan
yang seluas-luasnya bagi bahasa itu sendiri untuk menterjemahkan ide tersebut
kepada pembacanya.
Tujuan
utama gaya bahasa adalah menghadirkan aspek keindahan. Tujuan ini terjadi baik
dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa sebagai sistem model pertama, dalam
ruang lingkup kreativitas sastra. Meskipun demikian kualitas estetis menjadi
pokok permasalahan pada tataran bahasa kedua sebab dalam sastralah melalui
metode dan teknik diungkapkan secara rinci ciri-ciri bahasa yang disebut indah,
sebagai stilistika.
Gaya
lahir secara bersistem. Tidak ada gaya yang lahir secara tiba-tiba. Karya
sastra adalah hasil imajinasi, tetapi imajinasi tidak lahir dari kekosongan,
melainkan memiliki akar tempatnya berpijak, asal-usulnya dapat dicari. Gaya sebagai
sistem berarti terjadinya cara-cara tertentu melalui mekanisme tertentu. Dalam
ilmu alamiah dengan adanya sistem tertutup maka peristiwa berikutnya
seolah-olah dapat diprediksi
Gaya bahasa dan genre sastra
Stilistika berkaitan erat dengan genre. Sebagai intitusi genre
seolah-olah memaksa pengarang untuk menciptakan jenis yang sesuai dengan karya
yang ditulis. Seorang penyair sejak semula sudah berpikir bahwa bahasa yang
digunakan adalah bahasa puisi, bahasa dengan tingkat seleksi yang tinggi. Seorang
novelis harus mempersiapkan jumlah bahasa yang jauh lebih besar, bahasa bebas.
Seorang penulis drama harus mempersiapkan bahasa yang didominasi oleh dialog.
Penyair, novelis, dan dramawan menggunakan bahasa yang relatif sama tetapi
dengan gaya bahasa berbeda. Dikaitkan dengan gaya bahasa secara umum di satu
pihak, gaya sebagai semata-mata pilihan kata-kata di pihak lain, maka jelas
pembagian sastra utama adalah gaya itu sendiri. Seperti di atas pada dasarnya
tidak ada indikasi apa pun yang secara khas menunjukkan perbedaan antara bahasa
sastra dengan bahasa sehari-hari di satu pihak, antara bahasa puisi, prosa, dan
drama di pihak lain. Dengan kalimat lain genre lahir melalui penggunaan,
pilihan kata, yaitu gaya bahasa itu sendiri. Suatu teks yang terdiri atas
empat, lima, enam baris, yang disebut sebagai puisi, apabila ditulis secara
linear akan menjadi prosa. Prosa apabila ditulis dengan menggunakan dialog,
akan berubah menjadi drama. Puisi, prosa, dan drama ditulis atas dasar gaya
tertentu. Batas-batas stilistika ini bertambah kabur apabila dibedakan antara
puisi dengan varian-variannya, dengan jenis-jenis yang dihasilkan seperti
puisi, lirik, puisi didaktis, puisi religius, dan sebagainya. Demikian juga
novel dengan novel sejarah, novel psikologis, sosiologis, dan sebagainya.
Sesuai dengan hakikatnya di antara sastra lama dan modern, gaya
bahasa relatif stabil dalam sastra lama. Sampiran dan isi, sajak akhir, jumlah
kata dalam satu baris, jumlah baris dalam satu bait, bertahan sepanjang masa.
Persamaan dianggap sebagai identitas sejarah untuk menjaga stabilitas alam
semesta. Penyimpangan sedapat mungkin dihindarkan. Ada kesempatan antara penulis dengan pembaca
bahwa dalam menikmati karya seni yang dicari adalah isi, pesan, nasihat, dan
filsafat kehidupan secara keseluruhan. Masalah ini jelas berbeda dengan sastra
modern, di dalamnya perbedaan, pertentangan, dan revolusi gaya bahasa merupakan
kunci keberhasilan suatu genre. Karya sastra diukur melalui tingkat kebaruannya, kemampuannya untuk menyimpang
dari ciri-ciri gaya bahasa yang sudah ada. Perdebatan antara gaya bahasa lama
dan baru terjadi setiap saat penulisan yang pada dasarnya juga merupakan
indikasi terbentuknya genre baru. Jumlah genre dalam karya sastra
lama terbatas. Sebaliknya dalam kara sastra modern tak terbatas.
Dengan meneliti gaya bahasa karya-karya individual dengan
mengakumulasikannya sedemikian rupa dapat juga dilakukan terhadap gaya
sekelompok pengarang sehingga dapat diketahui ciri-ciri periode tertentu. Demikian juga dengan sendirinya dapat
dilakukan gaya genre tertentu. Perubahan gaya bahasa memicu perkembangan
genre yang selanjutya menjadi indikator terhadap penyerapan sistem
sosial ke dalam karya seni. Dengan kalimat lain gaya bahasa dan genre membantu
efektivitas pemahaman terhadap masyarakat yang terungkap di dalam karya.
Gaya bahasa sebagai energi proses kreatif
Karya sastra berfungsi untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia
sebagai akibat memenuhi dorongan batin. Pada dasarnya setiap manusia dewasa
memiiki tanggung jawab, kesadaran, dan dengan sendirinya kemauan untuk
melaksanakannya. Tidak benar bahwa proses kreatif merupakan pekerjaan sambilan
atau semata-mata untuk mengisi waktu luang. Aktivitas kreatif merupakan proses
yang khas. Energi yang mendorong proses itu pun memiliki ciri-ciri yang
berbeda-beda. Faktor yang mendorong seorang pengarang menulis karya sastra
harus dicari dalam kaitannya denga kejiwaan sebagai psikoliterer. Pada umumnya
disepakati bahwa dalam aktivitas kreatif faktor bakat memegang peranan penting
dan hampir selalu dipertimbangkan sebagai indikator utama. Penulisan dapat
dilakukan oleh sembarang orang tetapi
hasil yang diharapkan, karya yang memadai hanya diperoleh oleh orang-orang yang
dianggap memiliki bakat tersebut. Faktor kedua sangat erat kaitannya dengan
faktor pertama adalah kemauan, ketekunan, dan keuletan seseorang dalam
menghadapi berbagai tantangan selama proses penulisan. Fakor terakhir adalah
lingkungan, baik keluarga terdekat maupun masyarakat yang mengkondisikannya.
Aktivitas kreatif bukan semata-mata menyusun kata ke dalam kalimat,
kalimat ke dalam bab dan seterusnya. Dalam karya ilmiah proses penulisan
ditentukan oleh isi yang sudah dipersiapkan sebelumnya mungkin sebagai hasil
penelitian, tugas lembaga tertentu, pesan sponsor, tugasakhirstudiakademikdansebagainya.
Benar, dalamsastrajugasudahadaisi yang akandisampaikantetapibahan-bahan yang
dimaksudkanhanyaberupagarisbesar, sebagaitemapokok. Cabangdanrantingnya,
bagaimanatemadijabarkansepenuhnyaterjadipada proses penulisan. Dalamteori
modern justrudijelaskanbahwapenulisitusendirilah yang diarahkanbahkanditentukanolehtokoh-tokohdankejadian,
bukansebaliknya.Tokoh-tokohceritadianggapsebagaimanusia yang
benar-benarhidupmemilikinasibnyamasing-masingsehinggapenulisanlah yang
mengikutijalan piker tokoh.Pertama kali
tokohdihidupkandenganmemberikanidentitasberupanamatertentumakauntukselanjutnyaiaakanberjalansendiri.
Di
satupihaktujuanutamagayaseperti di atasadalahkualitasestetis. Di
pihaklainkualitasestetisadalahkekuatanitusendiri. Padadasarnyagayalah yang
dianggapsebagai energy proses kreatifdandengandemikianbagi proses
penikmatannya.
Energimendorongpenulisuntukmenulisdanpembacauntukmembacaadalahgaya,
cara-carapenyajiansecarakeseluruhanbaikpenyajianbentukmaupunisinya,
gayabahasanyatermasukmajas.
Secaratradisional
energy karyasastradandengandemikiangayaterkandungdalampersamaanbunyi yang
diperluasdenganmajas.
Puisidengandemikianadalahkeindahanbunyi.Untukmenunjukkankehadrirandankeindahanbunyimakapuisiharusdibaca
yang dikenaldenganpoetry reading.baikpuisibiasamaupunpuisikongkret
energy yang mendorongkualitasestetisnyasama. Artinyabaikdalammenulismaupunmembacasebuahpuisi,
bahasalah yang dianggapobjekutamabukanisi.
2.7 Dasar
Analisis Stilistika
Dasar
analisis stilistika dibagi menjadi dua, yaitu contoh karya sastra dan pengarang
dengan karyanya. Berikut ini penjelasan dari kedua aspek tersebut.
2.8.1
Pengarang dengan Karyanya
Chairil
Anwar lahir 26 Juli 1922 di Medan, meninggal 28 April 1949 di Jakarta.
Dikaitkan dengan siklus kehidupan manusia, pada umumnya pengenalan, kenangan,
dan proses pemahaman yang lebih intens terhadap seseorang terjadi pada saat
meninggal, bukan pada saat lahir. Sepanjang diketahui pendidikannya hanya
sampai pada tingkat MULO, ini pun tidak sampai tamat. H.B. Jassin (1967:53),
dokumenter yang paling lengkap menyimpan berbagai masalah sastra mengatakan
tidak banyak memiliki data tentang biografi Chairil Anwar. Menurutnya, Chairil
Anwar tidak pernah betah bekerja pada satu kantor, tempat kediamannya pun tidak
tetap. Paling lama Chairil berkantor di Gema Suasana, hanya tiga bulan itu pun
datang beberapa kali saja.
Analisis
intrinsik dengan menggunakan teori strukturalisme dapat dilakukan semata-mata
melalui karya, tanpa menghubungkannya dengan aspek-aspek yang ada diluarnya.
Analisis karya sastra sebagai bagian kebudayaan, sebagai analisis ekstrinsik
harus menghubungkannya dengan berbagai gejala yang ada dalam masyarakat.
Identitasnya sebagai kumpulan puisi, kapan ditulis, aliran yang memengaruhinya,
periodisasi, dan ideologi yang terkandung di dalamnya adalah faktor-faktor lain
yang juga memegang peranan dalam analisis stilistika.
“Aku”
merupakan salah satu puisi dalam kumpulan puisi Deru Campur Debu (1949) terdiri atas 28 puisi, 13 buah dipilih oleh
pengarangnya, sedangkan sisanya dipilih oleh Jassin sebagai redaktur. Puisi
“Aku” ada dua versi, yaitu versi yang tercantum dalam Deru Campur Debu dan versi Kerikil
Tajam yang Terampas dan yang Putus. Versi Kerikil Tajam menggunakan judul “Semangat”. Ada empat perbedaan
penulisan, yaitu: a) kata ‘mau’ dan ‘tahu’ (baris ke-3), b)’kumpulannya’ dan
‘kumpulan’ (baris ke-6), c) ‘meradang menerjang’ dan ‘meradang-menerjang’
(baris ke-8), dan d) ‘pedih peri’ dan ‘pedih dan peri’ (baris ke-11). Belum
diperoleh informasi tentang terjadinya perbedaan tersebut, khususnya perbedaan
judul. Perbedaan penulisan dalam keempat baris berikut diduga semata-mata
merupakan salah tulis, salah cetak, semacam korupsi dalam filologi. Kemungkinan
lain pengarang memang memiliki dua naskah, sebagai autograf yang berbeda. Pada
umumnya yang dianalisis oleh para kritikusadalah puisi berjudul “Aku” yang terkandung
dalam Deru Campur Debu. Karya-karya
lain yang dihasilkan, diantaranya: Kerikil
Tajam dan yang Terempas dan yang Putus (1949), Tiga Menguak Takdir (bersama Asrul Sani dan Rivai Apin). Sajak lain
beserta prosa dihimpun oleh Jassin dengan judul Chairil Anwar Pelopor Angkatan ’45 (1956).
Analisis,
pembicaraan, dan pembacaan terhadap puisi-puisi, Chairil Anwar sangat banyak.
Secara khusus “Aku” dibicarakan oleh Rachmat Djoko Pradopo (1987: 169-208)
dengan menggunakan teori semiotika. Tidak terhitung banyaknya motto dengan
mengambil kalimat, frase, baik untuk membangkitkan semangat maupun semata-mata
ingin mengungkapkan aspek keindahan bahasanya, rangkaian kata-katanya seperti:
//Aku ini binatang jalang//, //Aku mau hidup seribu tahun lagi//. Demikian juga
puisinya yang lain, baik dalam kumpulan puisi ini maupun yang lain, seperti:”
Cerita Buat Dien Tamaelo”, “Penerimaan”, “Senja di Pelabuhan Kecil”,
“Diponegoro”, “Merdeka”, “Kerawang Bekasi”, dan sebagainya. Belum ada karya
sastra yang diresepsi demikian intens selain hasil karya Chairil Anwar. Cara
pengungkapan secara keseluruhan, kekhasannya dalam pemilihan kata-kata dianggap
sebagai ciri utama keberhasilan tersebut.
Popularitas
Chairil membawanya ke puncak urutan para penyair besar Indonesia. Chairil diakui
sebagai penyair paling berhasil sepanjang sejarah sastra. Pengakuan berasal
baik dari kritikus seperti H.B. Jassin dan A. Teeuw, maupun sastrawan
sesudahnya, seperti: W.S. Rendra, Sapardi Djoko Damono, Pramoedya Ananta Toer,
dan sebagainya. Dalam usianya yang sangat muda Chairil menjadi inspirasi, mitos
bagi kreativitas sastra selanjutnya. Keberhasilan yang dimaksudkan ditunjukkan
melalui beberapa faktor, di antaranya: a) representasi visual melalui kebaruan
bentuk, komposisi, susunan baris, dan bait, b) efisiensi bahasa, penggunaan
kata-kata secara singkat, sederhana, tetapi penuh energi, c) pembawa aliran
baru, sebagai ekspresionisme, d)
kebaruan isi, yaitu nasionalisme, sesuai dengan semangat zaman, dan e)
keberhasilannya untuk menggugah emosi pembaca.
Puncak
keberhasilan Chairil sebagai penyair nasional, bahkan juga berhasil masuk ke
dalam khazanah sastra internasional, dengan diterjemahkannya ke dalam bahasa
asing, diduga karena Chairil telah dipengaruhi sekaligus memanfaatkan ciri-ciri
semangat sastra dunia. Dalam hubungan ini terjadi saling mempengaruhi antara
ciri-ciri nasionalisme, filsafat, dan sastra. Nasionalisme mempengaruhi semua
wilayah yang pernah terjadi di seluruh dunia, khususnya setelah Perang Dunia
II. Menurut Jassin (1975: 6) Chairil dipengaruhi oleh filsuf Nietzsche dan para
penyair Belanda, yaitu: Slauerhoff, Marsman, Ter Braak, dan Du Perron. Atas
dasar pemahaman tersebut Chairil berhasil mengatasi semangat regionalism dan
romantisisme Balai Pustaka dan Pujangga Baru.
2.8.2 Contoh Karya Sastra
Aku Semangat
Kalau sampai waktuku Kalau
sampai waktuku
`Ku
mau tak seorang`kan merayu kutahu
tak seorang `kan
merayu
Tidak juga kau Tidak
juga kau
Tak perlu sedu sedan itu Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang Aku
ini binatang jalan
Dari
kumpulannya terbuang Dari
kumpulan terbuang
Biar peluru menembus kulitku Biar peluru
menembus
kulitku
Aku
tetap meradang menerjang Aku
tetap meradang
menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari Luka
dan bisa kubawa
berlari
Berlari Berlari
Hingga
hilang pedih peri Hingga
hilang pedih dan
peri
Dan aku akan lebih tidak peduli Dan aku akan
lebih
tidak
peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi Aku mau hidup
seribu
tahun lagi
(Deru Campur Debu, 1963: 7) (Kerikil
Tajam dan yang Terampas dan yang Putus, 1978: 15)
III.
PENUTUP
3.1 Simpulan
Stilistika
adalah
ilmu yang mempelajari
mengenai
pemakain
bahasa
dalam
karya
sastra.
Kajian
stilistika
digunakan
untuk
menjelaskan
fungsi keindahan penggunaan bentuk kebahasaan tertentu mulai dari aspek bunyi, leksikal, struktur, bahasa
figuratif, sarana
retorika
sampai
grafologi.
Pendekatan stilistika berarti asumsi dasar yang digunakan oleh
kritikus dalam menilai suatu karya sastra ditinjau dari segi kebahasaannya.
Di
dalam
kajian
stilistika
menggunakan
tiga
pendekatan, yaitu
pendekatan
dualisme, pendekatan
monisme, dan pendekatan pluralism.Pendekatan
dualisme
adalah paham yang memiliki ajaran bahwa segala sesuatu yang ada, bersumber dari
dua hakikat atau substansi yang berdiri sendiri-sendiri. Pendekatan
monisme tidak membedakan unsur bentuk dan isi serta memandang keduanya sebagai
satu kesatuan yang erat. Pendekatan monisme beranggapan bahwa pemilihan isi
sekaligus berarti pemilihan menentukan bentuk (Lecch & Short, 2007:17 dalam
Nurgiyantoro). Demikian sebaliknya pemilihan bentuk sekaligus berarti pemilihan
isi. Isi dan bentuk merupakan sebuah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Sebuah isi, muatan makna, hanya dapat dan tepat diungkapkan dengan satu bentuk
dan bentuk itulah yang dipilih oleh pengarang. Pluralisme adalah suatu paham
atau pandangan hidup yang mengakui dan menerima adanya “kemajemukan” atau
“keanekaragaman” dalam suatu kelompok masyarakat. kemajemukan dimaksud misalnya
dilihat dari segi agama, suku, ras, adat-istiadat, dll. segi-segi inilah yang
biasanya menjadi dasar pembentukan aneka macam kelompok lebih kecil, terbatas
dan khas, serta yang mencirikhaskan dan membedakan kelompok yang satu dengan
kelompok yang lain, dalam suatu kelompok masyarakat yang majemuk dan yang lebih
besar atau lebih luas.
3.2 Saran
Berdasarkan
simpulan di atas, maka
penulis
merekomendasikan saran,
yaitu dalam menulis teori stilistika diharapkan dapat menggunakan tiga pendekatan, yaitu
pendekatan
dualisme, monisme, dan
pluralisme yang bersumber
dari
berbagai
macam
teori yang dikemukakan
para
ahli agar sajian
makalah
menjadi
lebih
mendalam
dan
dapat
dijadikan
sebagai
bahan
rujukan.
DAFTAR
PUSTAKA
Junus, Umar. 1989. StilistikSatuPengantar. Selangor
DarulEhsan: DewanBahasadanPustaka.
KuthaRatna, Nyoman. 2009. StilistikaKajianPuitikaBahasa, Sastra,
danBudaya. Yogyakarta:PustakaPelajar.
Nurgiyantoro, Burhan. 2014. Stilistika. Yogyakarta:GadjahMada
University Press.
Sudjiman, Panuti. 1993.
BungaRampaiStilistika. Jakarta:PT Temprint.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar