Senin, 27 November 2017

Makalah Kajian Intertekstual Karya Sastra



BAB I
PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang
Pada kenyataanya karya sastra, tidak hadir atau diciptakan dalam kekosongan budaya, namun karya sastra hadir atau diciptakan karena adanya seorang pengarang yang menuliskannya. Karya sastra diciptakan pengarangnya untuk menanggapi gejala-gejala yang terjadi pada masyarakat sekelilingnya, bahkan seorang pengarang tidak terlepas dari paham-paham, pikiran-pikiran atau pandangan dunia pada zamannya atau sebelumnya. Semua itu tercantum dalam karyanya. Dengan demikian, karya sastra tidak terlepas dari kondisi sosial budayanya dan tidak terlepas dari hubungan kesejarahan sastranya.
Sebuah karya sastra, baik puisi maupun prosa, mempunyai hubungan sejarah antara karya sezaman, yang mendahuluinya atau yang kemudian. Hubungan sejarah ini baik berupa persamaan atau pertentangan. Dengan hal demikian ini, sebaiknya membicarakan karya sastra itu dalam hubungannya dengan karya sezaman, sebelum atau sesudahnya. (Pradopo, 2003: 167).
Prinsip Intertekstual yaitu karya sastra baru bermakna penuh dalam hubungannya dengan karya sastra lain, baik dalam hal persamaannya maupun pertentangannya. Kajian sastra perbandingan, pada akhirnya harus masuk ke dalam wilayah hipogram. Hipogram adalah modal utama dalam sastra yang akan melahirkan karya berikutnya. (Riffaterre, 1978: 23). Jadi, hipogram adalah karya sastra yang menjadi latar penciptaan karya lain. Menurut Julia Kristeva, tiap teks merupakan mozaik kutipan-kutipan dan merupakan penyerapan serta transformasi teks-teks lain. Maksudnya, tiap teks itu mengambil hal-hal yang bagus dari teks lain, berdasarkan tanggapannya dan diolahnya kembali dalam karyanya.
Sejalan dengan pendapat di atas, menurut Kristeva (Culler, 1977), setiap teks adalah mosaik kutipan-kutipan dan merupakan penyerapan dan transformasi teks-teks lain. Dengan kata lain, setiap teks dari suatu karya sastra biasanya mengambil bentuk, intisari atau pokok-pokok yang baik dari teks lain dengan berlandaskan persepsi yang diolah kembali oleh pengarangnya.

1.2 Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian intertekstualitas?
2.      Bagaimanaakah orisinalitas suatu teks?
3.      Apasajakah pokok kajian intertekstualitas?
4.      Bagaimanaakah  ruang lingkup resepsi sastra dengan intertekstualitas?

1.3 Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui dan memahami hal-hal yang berkaitan dengan intertekstualitas di antaranya.
1.      Pengertian intertekstualitas.
2.      Orisinalitas suatu teks.
3.      Pokok kajian intertekstualitas.
4.      Ruang lingkup resepsi sastra dengan intertekstualitas.










BAB II
PEMBAHASAN



2.1 Pengertian Intertekstual
Intertekstual adalah sebuah pendekatan untuk memahami sebuah teks sebagai sisipan dari teks-teks lainnya. Intertekstual juga dipahami sebagai proses untuk menghubungkan teks dari masa lampau dengan teks masa kini. Suatu teks dipahami tidak berdiri sendiri. Ada dua alasan yang mendasari hal ini. Pertama, pengarang sebuah teks adalah pembaca sebelum ia penulis teks-teks. Teks yang ditulis tentu dipengaruhi oleh teks-teks lain yang dibaca oleh sang pengarang. Dalam proses penulisan teks, pengarang menggunakan berbagai rujukan atau kutipan dari teks-teks yang telah ia baca. Kedua, sebuah teks tersedia melalui proses pencarian materi yang hendak ditulis. Dalam proses tersebut, ada pertentangan maupun penerimaan akan materi-materi yang ditemukan dalam teks-teks yang dibaca. Teks-teks yang mempengaruhi bisa jadi teks-teks yang ada sebelum teks ditulis atau teks-teks yang berada pada zaman teks ditulis. Pengaruh yang diberikan teks-teks lain bisa dalam bentuk gagasan, ucapan-ucapan lisan, gaya bahasa, dan lain-lain. Suatu teks disusun dari kutipan-kutipan atau sumber-sumber teks lain. Teks yang dimaksud di sini bukan hanya teks tertulis tetapi juga teks yang tidak tertulis atau lisan seperti adat istiadat, kebudayaan, dan agama.
Suatu teks itu penuh makna bukan hanya karena mempunyai struktur tertentu, suatu kerangka yang menentukan dan mendukung bentuk, tetapi juga karena teks itu berhubungan dengan teks lain. Sebuah teks lahir dari teks-teks lain dan harus dipandang sesuai tempatnya dalam kawasan tekstual. Hal inilah yang disebut intertekstual, yaitu pengertian bahwa suatu teks tidak dapat tidak dipengaruhi oleh teks baru, baik perbedaannya maupun persamaannya (Partini dalam Masyarakat Poetika Indonesia, 2015: 172).

2.1.1 Prinsip Intertekstualitas
Pengertian, paham, atau prinsip intertekstualitas berasal dari Prancis dan bersumber pada aliran dalam strukturalisme Prancis yang dipengaruhi oleh pemikiran filsuf Prancis, Jaques Derrida, dan dikembangkan oleh Julia Kristeva. Prinsip ini berarti bahwa setiap teks sastra dibaca dan harus dengan latar belakang teks-teks lain; tidak ada sebuah teks pun yang sungguh-sungguh mandiri, dalam arti bahwa penciptaan dan pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain sebagai contoh, teladan, kerangka; tidak dalam arti bahwa teks baru hanya meneladan teks lain atau mematuhi kerangka yang telah diberikan lebih dulu, tetapi dalam arti bahwa dalam penyimpangan dan transformasi pun model teks yang sudah ada memainkan peranan yang penting. Pemberontakan atau penyimpangan mengandaikan adanya sesuatu yang dapat diberontaki ataupun disimpangi; dan pemahaman teks baru memerlukan latar belakang pengetahuan tentang teks-teks yang mendahuluinya (Kristeva dalam Masyarakat Poetika Indonesia, 2015: 172).
Sajak yang menjadi latar penciptaan sajak baru oleh Rifaterre disebut hypogram. Dalam hubungan ini Kristevas (dalam Masyarakat Poetika Indonesia, 2015: 172—173) mengemukakan bahwa tiap teks itu merupakan mosaik kutipan-kutipan dan merupakan penyerapan (transformasi) teks-teks lain. Maksudnya, tiap teks itu mengambil hal-hal yang bagus dari teks lain berdasarkan tanggapan-tanggapannya dan diolah kembali dalam karyanya atau ditulis setelah melihat, meresapi, menyerap hal yang menarik, baik secara sadar maupun tidak sadar. Setelah menanggapi teks lain dan menyerap konvensi sastra, konsep estetik, atau pikiran-pikirannya kemudian mentransformasikannya ke dalam karya sendiri dengan gagasan dan konsep estetik sendiri sehingga terjadi perpaduan baru. Konvensi dan gagasan yang diserap itu dapat dikenali apabila kita membandingkan teks yang menjadi hypogram-nya dengan teks baru itu. Teks baru atau teks yang menyerap dan mentransformasikan hypogram itu disebut teks transformasi.
Intertekstual menurut Kristeva mempunyai prinsip dan kaidah tersendiri dalam penelitian karya sastra, antara lain : (1) interteks melihat hakikat sebuah teks yang di dalamnya terdapat berbagai teks; (2) interteks menganalisis sebuah karya itu berdasarkan aspek yang membina karya tersebut, yaitu unsur-unsur struktur seperti tema, plot, watak, dan bahasa, serta unsur-unsur di luar struktur seperti unsur sejarah, budaya, agama yang menjadi bagian dari komposisi teks; (3) interteks mengkaji keseimbangan antara aspek dalaman dan aspek luaran dengan melihat fungsi dan tujuan kehadiran teks-teks tersebut; (4) teori interteks juga menyebut bahwa sebuah teks itu tercipta berdasarkan karya-karya yang lain. Kajian tidak hanya tertumpu pada teks yang dibaca, tetapi meneliti teks-teks lainnya untuk melihat aspek-aspek yang meresap ke dalam teks yang ditulis atau dibaca atau dikaji; (5) yang terpenting dalam interteks adalah menghargai pengambilan, kehadiran, dan masuknya unsur-unsur lain ke dalam sebuah karya.
            Dalam konsep intertekstual, teks yang menjadi dasar penciptaan teks, yang ditulis kemudian, dipandang sebagai bentuk hipogram (Riffaterre, 1978: 165). Karya yang diciptakan berdasarkan hipogram itu disebut sebagai karya transformasi karena menstransformasikan hipogram itu. Unsur-unsur yang diserap sebuah teks dari teks-teks hipogram yang mungkin berupa kata, sintagma, model bentuk, gagasan, atau berbagai unsur instrinsik yang lain, bahkan dapat pula berupa sifat kontradiksinya, akan menghasilkan sebuah karya baru sehingga hipogramnya mungkin tidak dikenali lagi, atau bahkan dilupakan (Riffaterre, 1978: 165). Hal itu memungkinkan lahirnya dua buah karya yang mempunyai tema sama, tetapi berbeda cara penyajian ceritanya. Demikian sebaliknya, terdapat cara penyajian ceritanya yang sama, tetapi berbeda dari segi temanya (Culler, 1977: 241).
Hipogram dibedakan menjadi dua macam, yakni hipogram potensial dan hipogram aktual (Riffaterre, 1978: 23). Hipogram potensial tidak eksplisit dalam teks, tetapi dapat diabstraksikan dari teks. Hipogram potensial merupakan potensi sistem tanda pada sebuah teks sehingga makna teks dapat dipahami pada karya itu sendiri, tanpa mengacu pada teks yang sudah ada sebelumnya. Hipogram potensial itu adalah matrik yang merupakan inti dari teks atau kata kunci, yang dapat berupa kata, frase, klausa, atau kalimat sederhana. Hipogram aktual adalah teks nyata, yang dapat berupa kata, frase, kalimat, peribahasa, atau seluruh teks, yang menjadi latar penciptaan teks baru sehingga signifikansi teks harus ditemukan dengan mengacu pada teks lain atau teks yang sudah ada sebelumnya. Teks dalam pengertian umum bukan hanya teks tertulis atau teks lisan, tetapi juga adat-istiadat, kebudayaan, agama, bahkan dunia ini. Hipogram tersebut direspon atau ditanggapi oleh teks baru. Tanggapan tersebut dapat berupa penerusan atau penentangan tradisi atau konvensi. Adanya tanggapan itu menunjukkan bahwa keberadaan suatu teks sastra adalah dalam rangka fungsi yang ditunjukkan kepada pembaca.

2.1.2 Prinsip Intertekstualitas dan Penerapannya pada Karya Sastra
Prinsip intertekstualitas dalam kritik sastra di dunia barat sudah mulai dikenal tahun enam puluhan. Di Indonesia, prinsip ini baru diterapkan pada karya sastra Indonesia pada tahun delapan puluhan dipelopori Teeuw dalam artikel Majalah Basis tahun 1980 No. 30.1 yang ditulis kembali dalam buku Membaca dan Menilai Sastra (1983).
Karya sastra tidak lahir dalam kekosongan budaya, termasuk sastra. Karya sastra itu merupakan response (Teeuw dalam dalam Masyarakat Poetika Indonesia, 2015: 173) pada karya sastra yang terbit sebelumnya. Oleh karena itu, sebuah teks tidak dapat dilepaskan sama sekali dari teks lain. Sebuah karya sastra baru mendapatkan maknanya yang hakiki dalam kontrasnya dengan karya sebelumnya. Teks dalam pengertian umum adalah dunia semesta ini, bukan hanya teks tertulis atau teks lisan. Adat istiadat, kebudayaan, film, drama secara pengertian umum adalah teks (Masyarakat Poetika Indonesia, 2015: 173). Oleh karena itu, karya sastra tidak dapat lepas dari hal-hal yang menjadi latar penciptaannya tersebut, baik secara umum maupun khusus.
Teeuw membuktikan bahwa prinsip intertekstualitas (selanjutnya disebut pendekatan intertekstual) dapat diterapkan secara efektif pada karya sastra Indonesia. Misalnya, Sajak-Sajak Indonesia Modern karya Amir Hamzah (Pujangga Baru) dan sajak karya Chairil Anwar (Angkatan '45) seperti 'Berdiri Aku' dengan ‘Senja di Pelabuhan Kecil’; sajak ‘Kusangka’ dengan ‘Penerimaan’; ‘Dalam Matamu’ dengan ‘Sajak Putih’. H.B Jassin dalam bukunya Chairil Anwar Pelopor Angkatan ’45 (1978) telah menerapkan pendekatan intertekstualisme untuk memahami sajak Chairil yang penciptaannya dilatari sajak-sajak penyair Eropa dan Amerika. Demikian pula Michael Rifaterre dalam bukunya Semiotics of Poetry (1978) mendemonstrasikan pendekatan intertekstualisme secara nyata dengan mambahas sajak Prancis yang baru dapat dipahami sepenuhnya apabila dibaca dengan latar belakang sajak lain.
Rachmat Djoko Pradopo dalam bukunya Pengkajian Puisi (1978) menjelaskan bahwa hubungan intertekstual dalam sajak Indonesia modern tercipta berdasarkan konvensi dan tradisi sastra masyarakat yang bersangkutan. Misalnya, sebelum terbit sajak Pujangga Baru sudah ada sajak Indonesia Lama (Melayu). Pada waktu itu, para penyair Pujangga Baru telah mengenal konvensi pantun dan syair dan ketika mereka berniat membuat puisi baru setelah mengenal puisi Eropa, mereka menentang aturan dan konvensi bentuk formal maupun konvensi isi pikiran yang dikandungnya. Sebagai contoh, perhatikan sajak berikut ini.

BUKAN BETA BIJAK BERDIRI
                                    Rustam Effendi

Bukan beta bijak berperi,
Pandai mengubah madahan syair,
Bukan beta budak Negeri,
Musti menurut undangan mair

Sarat saraf sayan mungkiri,
Untai rangkaian seloka lama,
Beta buang beta singkiri,
Sebab laguku menurut sukma.

Susah sungguh saya sampaikan,
Degap-degupan di dalam kalbu,
Lemah laun lagu dengungan,
Matnya digamat rasain waktu.

Sering saya susah sesaat,
Sebab madahan tidak nak datang,
Sering saya sulit menekat,
Sebab terkurung lukisan mamang.
Bukan beta bijak berlagu,
Dapat melemah bingkaian pantun,
Bukan beta berbuat baru,
Hanya mendengar bisikan alun.

Sajak di atas menyimpangi konvensi persajakan pantun dan syair. Bentuknya adalah syair karena kelima bait berisi pernyataan yang bersambungan. Isi sajak itu berupa pernyataan perasaan pribadi (aku). Akan tetapi, kalau melihat pola rimanya yang a b a b, tiap baris terdiri atas dua periodus, tiap periodus terdiri atas dua kata, sajak Rustam itu masih merupakan konvensi sajak Melayu. Konvensi yang dipertahankan Rustam dalam sajaknya adalah konvensi pemberian nasihat dan lukisan alam yang indah. Hal ini sesuai dengan pendapat Teeuw (dalam Masyarakat Poetika Indonesia, 2015: 175) bahwa sajak meneruskan ciri-ciri yang merupakan konvensi sebelumnya. Dalam hal ini terjadi ketegangan antara pembaharuan dan konvensi, antara yang lama dan yang baru.





Sajak-sajak lain yang memiliki hubungan intertekstual misalnya sajak penyair Angkatan ’45 dengan penyair angkatan Pujangga Baru dan penyair-penyair sesudahnya berikut ini.


KUSANGKA
Amir Hamzah

Kusangka cempaka kembang setangkai
Rupanya melur telah diseri...
Hatiku remuk mengenangkan ini
Wasangka dan was-was silih berganti.

Kuharap cempaka baharu kembang
Belum tahu sianar matahari...
Rupanya teratai patah kelopak
Dihinggapi kembang berpuluh kali.

Kupuhonkan cempaka
Harum mula berserak...
Melati yang ada
Pandai tergelak...

Mimpiku seroja terapung di paya
Teratai putih awan angkasa...
Rupanya mawar mengandung lumpur
Kaca piring bunga renungan...

Igauanku subu, impianku malam
Kuntum cempaka putih bersih...
Kulihat kembang keliling berlagu
Kelopakmu terbuka menerima cumbu.

Kusangka hari bertudung lingkup
Bulu mata menyangga panah asmara
Rupanya merpati jangan dipetik
Kalau dipetik menguku segara

Buah Rindu



PENERIMAAN
Chairil Anwar

Kalau kau mau kuterima kembali
Dengan sepenuh hati

Aku masih tetap sendiri

Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari yang sudah terbagi

Jangan tunduk! Tantang aku dengan berani

Kalau kau mau kuterima kau kembali
Untukku sendiri tapi

Sedang dengan cermin aku enggan berbagi

Deru Campur Debu


Sajak ‘Kusangka’ merupakan hypogram sajak ‘Penerimaan’ yang menunjukkan kesejajaran kedua sajak tersebut di atas adalah gagasannya yaitu membandingkan gadis dengan bunga. Akan tetapi ciri dua penyair dari zaman yang berbeda dapat diamati dari bentuk formal sajak dan bahasa yang dipergunakan. Gagasan yang sama diolah dua penyair yang memiliki kepribadian masing-masing sehingga sikap dan pandangan mereka pun berbeda dalam menghadapi suatu permasalahan. Misalnya dalam sajak ‘Kusangka’, Amir Hamzah sangat kecewa karena gadis yang disangka murni itu ternyata tidak murni lagi sehingga memutuskan untuk tidak menerima gadis itu. Sedangkan Chairil Anwar dalam sajaknya ‘Penerimaan’ menghadapi masalah yang sama, tetapi bersikap bertentangan dengan Amir Hamzah yang bersedia menerima gadis yang tidak murni itu, tetapi dengan syarat sepenuhnya milik si aku dan tidak boleh mendua lagi.

2.2 Orisinalitas Teks
Munculnya studi interteks, sebenarnya lebih banyak dipengaruhi oleh pembuatan sejarah sastra. Karena, melalui pembuatan sejarah sastra, interteks akan menyumbangkan bahan yang luar biasa pentingnya. Maksudnya, jika dalam tradisi sastra terdapat pinjam-meminjam antara sastra satu dengan yang lain, akan terlihat pengaruhnya. Sedangkan munculnya sastra bandingan dengan bidang lain, kemungkinan besar dipengaruhi oleh penelitian lintas disiplin ilmu.
Studi interteks menurut Frow dalam Endraswara (2013: 131) didasarkan pada beberapa asumsi kritis, yaitu:
(a)    Konsep interteks menuntut peneliti untuk memahami teks tak hanya sebagai isi, melainkan juga aspek perbedaan dan kesejahteraan teks.
(b)   Teks tak hanya struktur yang ada tetapi satu sama lain juga saling memburu sehingga terjadi perulangan atau tranformasi teks.
(c)    Ketidakhadiran struktur teks dalam rentang teks yang lain namun hadir juga pada teks tertentu merupakan proses waktu yang menentukan.
(d)   Bentuk kehadiran struktur teks merupakan rentangan dari yang eksplisit sampai implisit. Tak boleh begitu saja diciptakan ke bentuk lain: di luar norma idiologi dan budaya, di luar genre, di luar gaya dan idiom, dan di luar hubungan teks-teks lain.
(e)    Hubungan teks satu dengan yang lain boleh dalam rentang waktu lama, hubungan tersebut bisa secara abstrak, hubungan interteks juga sering terjadi penghilangan-penghilangan bagian tertentu.
(f)    Pengaruh mediasi pada interteks sering mempengaruhi juga pada penghilangan gaya maupun norma-norma sastra.
(g)   Dalam melakukan identifikasi interteks diperlukan proses interprestasi.
(h)   Analisis interteks berbeda dengan melakukan kritik melainkan lebih terfokus pada konsep pengaruh.
Jika dicermati dari asumsi di atas, peneliti interteks semula memang pengembangan dari resepsi sastra, terutama resepsi teks. Asumsi paham interteks adalah bahwa teks sastra tidak berdiri sendiri. Teks dibangun atas teks yang lain. Pengarang ketika mengekspresikan karyanya, telah meresepsi karya sebelumnya. Hanya saja, terjadinya interteks tersebut ada yang sangat vulgar dan ada pula yang sangat halus. Semua kasus interteks bergantung keahlian pengarang menyembunyikan atau sebaliknya memang ingin menampakkan karya orang lain dalam karyanya.
Junus dalam Endraswara (2013: 131) mengatakan munculnya interteks sebenarnya dipengaruhi oleh hakikat teks yang di dalamnya terdapat teks lain. Hal ini mengisyaratkan bahwa unsur teks yang masuk ke teks lain itu dapat saja hanya setitik saja. Jika kemungkinan unsur yang masuk itu banyak, berarti telah terjadi resepsi yang berarti. Jika dalam suatu teks terdapat berbagai teks lain berarti teks sastra tersebut disebut karnaval. Teks yang lahir kemudian hanya mosaik dari karya yang sebelumnya. Mosaik tersebut ibarat bahan yang terpecah-pecah, terpencar-pencar, sehingga pengarang berikutnya sering harus menata ulang ke dalam karyanya. Dari ini akan tercipta sebuah karya yang merupakan transformasi teks lain.
Dari pendapat demikian layak jika Culler dalam Endraswara (2013: 132) menyatakan bahwa studi intertekstual akan membawa peneliti memandang teks-teks pendahulu sebagai sumbangan pada suatu kode yang memungkinkan efek signifiation, yaitu pemaknaan yang bermacam-macam, akan ditemukan makna yang asli. Pada saat itu pula teks asli akan diketemukan. Yakni, teks yang kurang lebih disebut orisinil. Kendati istilah orisinil ini masih mengundang perdebatan, karena hampir tak mungkin karya sastra yang “bebas” dari karya orang lain. Namun demikian, melalui studi interteks, setidaknya peneliti akan mampu memilih dan memilah, mana karya yang paling dekat dengan asli dan mana yang telah bergeser.

2.3  Pokok Kajian Intertekstualitas
Kajian sastra bandingan, pada akhirnya harus masuk ke dalam wilayah hipogram. Hipogram adalah modal utama dalam sastra yang akan melahirkan karya berikutnya. Jadi, hipogram adalah karya sastra yang menjadi latar kelahiran karya berikutnya. Sedangkan karya berikutnya dinamakan karya tranformasi. Hipogram dan transformasi akan berjalan terus-menerus sejauh proses sastra itu hidup. Hipogram merupakan “induk” yang meneteskan karya-karya baru. Dalam hal ini peneliti sastra berusaha membandingkan antara karya “induk” dengan karya baru. namun, tidak ingin mencari keaslian, sehingga menganggap bahwa yang lebih tua yang hebat, seperti halnya studi filologi. Studi interteks justru ingin melihat seberapa jauh tingkat kreativitas pengarang.
Hipogram karya sastra akan meliputi:
a)      Ekspansi, yaitu perluasan atau pengembangan karya. Ekspansi tak sekedar repetisi, tetapi termasuk perubahan gramatikal dan perubahan jenis kata.
b)      Konvensi, adalah pemutarbalikan hipogram atau matriknya. Penulis akan memodifikasi kalimat ke dalam karya barunya.
c)      Modifikasi, adalah perubahan tataran linguistik, manipulasi urutan kata dan kalimat. Dapat saja pengarang hanya mengganti nama tokoh, padahal tema dan jalan ceritanya sama.
d)     Ekserp, adalah semacam intisari dari unsur atau episode dalam hipogram yang disadap oleh pengarang. Ekserp biasanya lebih halus, dan sangat sulit dikenali, jika peneliti belum terbiasa membandingkan karya.
Dari penelitian interteks demikian, akan terlihat lebih jauh bahwa karya berikutnya merupakan response pada karya-karya yang terbit sebelumnya. Penampilan teks pada teks lain tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut; 1) kehadiran teks secara fisik suatu teks dalam teks yang lainnya; 2) kehadiran teks pada teks yang lain kemungkinan hanya berupa kesinambungan tradisi sehingga pencipta sesudahnya jelas telah membaca karya sebelumnya.
Kehadiran teks lain pada suatu teks akan mewarnai teks baru tersebut. Karya sastra biasanya baru bermakna penuh dalam hubungannya dengan sajak lain, baik dalam persamannya maupun pertentangannya. Hal ini menyugestikan bahwa karya sastra yang lahir kemudian merupakan “pantulan” karya sebelumnya. Pantulan tersebut dapat langsung maupun tidak langsung. Jika pantulan itu langsung, tentu karya tersebut memiliki hubungan interteks yang halus. Hubungan interteks model pertama akan mudah diketahui oleh siapa saja yang telah membaca beberapa karya. Sedangkan interteks yang kedua, tentu membutuhkan kejelian pembaca untuk mengetahuinya.
Prinsip dasar interteks adalah karya hanya dapat dipahami maknanya secara utuh dalam kaitannya dengan teks lain yang menjadi hipogram. Hipogram adalah karya sastra terdahulu yang dijadikan sandaran berkarya. Dalam hal ini, sastrawan yang lahir berikut adalah reseptor dan transformator karya sebelumnya. Dengan demikian mereka selalu menciptakan karya yang asli, karena dalam mencipta selalu diolah dengan pandangannya sendiri, dengan horison atau harapannya sendiri.
Penelitian intertekstual tersebut sebenarnya merupakan usaha pemahaman sastra sebagai sebuah “presupposition”. Yakni sebuah perkiraan bahwa suatu teks baru mengandung teks lain sebelumnya. Dalam diri pengarang penuh lapis-lapis teks-teks lain yang sewaktu-waktu dapat keluar dalam karyanya. Jika yang terungkap dalam karyanya banyak memuat teks lain, memang akan kehilangan orisinilnya. Presupposition sebenarnya merupakan perkiraan “tanda” terjadinya transformasi teks. “Tanda” ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
a)      Presupposition logis, biasanya tampak pada pemikiran pengarang dalam kalimat atau pun kata-kata tertentu. Kalimat atau kata tersebut jika dihadirkan secara eksplisit, tentu tidak masalah. Namun, jika pencipta berikutnya sangat samar-samar, peneliti harus mampu menafsirkan. Misalnya, “berapa lama kau menghuni teralis besi?”, ini berarti Presupposition-nya merujuk pada narapidana.
b)      Presupposition pragmatis adalah tidak lagi bertolak dari relasi antarkalimat dan kata, melainkan antara ucapan dan ungkapan. Dalam karya sastra mungkin berupa special kind of speech act dan juga special word. Misalnya, “buka pintu” bisa hadir Presupposition-nya permohonan dan perintah.

2.4 Resepsi Sastra dan Intertekstualitas
Dapat diduga kemungkinan hubungan yang rapat antara resepsi sastra dan hakikat intertekstualitas yang ada antara dua teks atau lebih, meskipun tidak ditolak adanya perbedaan hakikat antara keduanya. Resepsi sastra lebih berhubungan dengan sesuatu yang aktif, dinamik, yaitu bagaimana orang menerima sesuatu, atau bagaimana seseorang mendapat suatu kesan, atau memberi makna kepada sesuatu teks. Intertekstualitas lebih memperhatikan sesuatu yang statik, pasif, terutama kalau pengertiannya dibatasi kepada pengertian yang diberikan oleh Julia Kristeya (1970,1980). Tapi dalam perkembangannya memang muncul pengertian lain, hingga mungkin mendekati resepsi sastra, kalau tidak akan bertindih dengan resepsi sastra. Untuk menjelaskan hal ini, diperlukan keterangan ringkas tentang intertekstualitas.
Intertekstualitas dikatakan Kristeva sebagai hakikat suatu teks yang di dalamnya ada teks lain. Dengan kata lain, intertekstualitas adalah kehadiran suatu teks pada suatu teks (lain). Dan bila dalam suatu teks ada berbagai teks lain, maka teks itu mungkin saja bersifat karnaval. Keterangan Kristeva tentang intertekstualitas dapat dirumuskan sebagai berikut:
a.       Kehadiran secara fisikal suatu teks dalam suatu teks lainnya.
Contoh yang baik di sini barangkali ialah mengenai cerita tentang ibu tiri yang jahat. Kita boleh bertanya tentang tujuan cerita ini diceritakan. Apakah ia diceritakan untuk menceritakan tentang adanya seorang ibu tiri yang jahat atau ia diceritakan untuk menyadarkan seoarang anak supaya ia mengasihi dan menolong ibunya. Kalau ia tidak mengasihi dan tidak menolong ibunya, maka mungkin saja ibunya akan cepat mati, dan ia akan hidup dengan seorang “ibu tiri yang jahat”. Karena itu, biasa juga, setelah selesai menceritakan cerita tentang ibu tiri yang jahat, seorang anak dinasehati untuk mengasihi dan menolong ibunya, supaya ia tidak perlu hidup bersama ibu tiri.

b.      Pengertian teks bukan hanya terbatas kepada cerita, tapi yang mungkin berupa teks bahasa.
Tapi kehadiran teks lain dalam suatu teks itu mungkin saja tidak bersifat fisikal belaka dengan menampilkan (secara eksplisit) (judul) cerita itu sendiri. Namun mungkin dapat dikesan adanya hal-hal sebagai berikut:
c.       Adanya petunjuk yang menunjukkan hubungan – persambungan dan pemisahan – antara suatu teks denga teks yang telah terbit lebih dulu. Dengan begitu, bukan tidak mungkin penulisannya (telah) membaca suatu teks yang terbit lebih dulu dan kemudian “memasukkan”nya ke dalam teks yang ditulisnya.
d.      Dalam membaca suatu teks, kita tidak hanya membaca teks itu saja, tapi kita membacanya “berdampingan” dengan teks-teks lainnya, sehingga interpretasi kita terhadapnya tak dapat dilepaskan dari teks-teks lain itu.

Dalam kesemua hubungan itu, kehadiran suatu teks lain bukanlah suatu yang polos (=innocent), yang tidak melibatkan suatu proses pemahaman dan pemaknaan, suatu signifying process seperti yang juga dikatakan  Kristeva (1980:15) karena itu, disini selalu ikut unsur pemaknaan dan bagaimana seseorang menerima teks itu. Kalau intertekstualitas hanya mengidentifikasi “kehadiran” suatu teks lain dalam suatu teks, maka ini hanya  memenuhi rasa ingin tahu kita, yang tidak punya fungsi. Atau hanya diperlukan untuk memberikan identifikasi terhadap suatu teks. Dan dapat dikatakan bahwa suatu teks yang meghimpun berbagai teks kepada dirinya adalah suatu teks karnaval. Tapi, intertekstualitas punya pengertian yang jauh lebih berarti dari hanya apa yang ada beberapa interpretasi yang dapat dilekatkan padanya. Dapat dilihat adanya berbagai kemungkinan.





























Pendekatan Intertekstual adalah adalah teknik penelitian sastra yang dilakukan dengan cara membandingkan dan mensejajarkan antar karya. Intertekstual juga dipahami sebagai proses untuk menghubungkan teks dari masa lampau dengan teks masa kini.  Intertekstual dalam puisi dapat mencakup persamaan maupun pertentangannya. Untuk mendalami hubungan antarteks, penting dibicarkan karya sastra tersebut dalam kaitannya dengan karya sezaman, sebelum, dan sesudahnya. Hal ini untuk mengetahui bagaimana hubungan atau kaitan antarteks yang mungkin terjadi.

Dalam penyusunan makalah ini, kami selaku penyusun tentunya mengalami banyak kekeliruan dan kesalahan-kesalahan baik dalam ejaan, pilihan kata, sistematika penulisan maupun penggunaan bahasa yang kurang di pahami. Untuk itu kami mohon kritik dan sarannya untuk masukan kami sebagai pembelajaran di waktu yang akan datang.






DAFTAR PUSTAKA

Endraswara, Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS (Center for Academic Publishing Service).
Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra (Sebuah Pengantar). Jakarta: PT Grmaedia.
Masyarakat Poetika Indonesia. 2015. Teori Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington: Indiana University Press.
Rokhmansyah, Alfian. 2014. Studi dan Pengkajian Sastra. Yogyakarta: Graha Ilmu.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PUISI CORONA

CORONA Karya Asep Perdiansyah Corona datang menyerang Dunia menjadi tak tenang Tempat keramaian seketika menghilang Matahari b...