BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada kenyataanya karya sastra, tidak hadir atau
diciptakan dalam kekosongan budaya, namun karya sastra hadir atau diciptakan
karena adanya seorang pengarang yang menuliskannya. Karya sastra diciptakan
pengarangnya untuk menanggapi gejala-gejala yang terjadi pada masyarakat
sekelilingnya, bahkan seorang pengarang tidak terlepas dari paham-paham,
pikiran-pikiran atau pandangan dunia pada zamannya atau sebelumnya. Semua itu
tercantum dalam karyanya. Dengan demikian, karya sastra tidak terlepas dari
kondisi sosial budayanya dan tidak terlepas dari hubungan kesejarahan
sastranya.
Sebuah karya sastra, baik puisi maupun prosa,
mempunyai hubungan sejarah antara karya sezaman, yang mendahuluinya atau yang
kemudian. Hubungan sejarah ini baik berupa persamaan atau pertentangan. Dengan
hal demikian ini, sebaiknya membicarakan karya sastra itu dalam hubungannya
dengan karya sezaman, sebelum atau sesudahnya. (Pradopo, 2003: 167).
Prinsip Intertekstual yaitu karya sastra baru
bermakna penuh dalam hubungannya dengan karya sastra lain, baik dalam hal
persamaannya maupun pertentangannya. Kajian sastra perbandingan, pada akhirnya
harus masuk ke dalam wilayah hipogram. Hipogram adalah modal utama dalam sastra yang akan
melahirkan karya berikutnya. (Riffaterre,
1978: 23). Jadi, hipogram adalah karya sastra yang menjadi latar penciptaan
karya lain. Menurut Julia Kristeva, tiap teks merupakan mozaik kutipan-kutipan dan
merupakan penyerapan serta transformasi teks-teks lain.
Maksudnya, tiap teks
itu mengambil hal-hal yang bagus dari teks lain, berdasarkan tanggapannya dan diolahnya kembali dalam karyanya.
Sejalan dengan pendapat di atas,
menurut Kristeva (Culler, 1977), setiap teks adalah mosaik kutipan-kutipan dan
merupakan penyerapan dan transformasi teks-teks lain. Dengan kata lain, setiap
teks dari suatu karya sastra biasanya mengambil bentuk, intisari atau
pokok-pokok yang baik dari teks lain dengan berlandaskan persepsi yang diolah
kembali oleh pengarangnya.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apakah
pengertian intertekstualitas?
2.
Bagaimanaakah
orisinalitas suatu teks?
3.
Apasajakah
pokok kajian intertekstualitas?
4.
Bagaimanaakah ruang lingkup resepsi sastra dengan
intertekstualitas?
1.3 Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui dan memahami hal-hal yang berkaitan dengan
intertekstualitas di antaranya.
1.
Pengertian
intertekstualitas.
2.
Orisinalitas
suatu teks.
3.
Pokok kajian
intertekstualitas.
4.
Ruang lingkup
resepsi sastra dengan intertekstualitas.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Intertekstual
Intertekstual adalah
sebuah pendekatan untuk memahami sebuah teks sebagai sisipan
dari teks-teks lainnya. Intertekstual juga dipahami sebagai proses untuk
menghubungkan teks dari masa lampau dengan teks masa kini. Suatu teks dipahami
tidak berdiri sendiri. Ada dua alasan yang mendasari hal ini. Pertama,
pengarang sebuah teks adalah pembaca sebelum ia penulis teks-teks. Teks yang
ditulis tentu dipengaruhi oleh teks-teks lain yang dibaca oleh sang pengarang.
Dalam proses penulisan teks, pengarang menggunakan berbagai rujukan atau
kutipan dari teks-teks yang telah ia baca. Kedua, sebuah teks tersedia
melalui proses pencarian materi yang hendak ditulis. Dalam proses tersebut, ada
pertentangan maupun penerimaan akan materi-materi yang ditemukan dalam
teks-teks yang dibaca. Teks-teks yang mempengaruhi bisa jadi teks-teks yang ada
sebelum teks ditulis atau teks-teks yang berada pada zaman teks ditulis.
Pengaruh yang diberikan teks-teks lain bisa dalam bentuk gagasan, ucapan-ucapan
lisan, gaya bahasa, dan lain-lain. Suatu teks disusun dari kutipan-kutipan atau
sumber-sumber teks lain. Teks yang dimaksud di
sini bukan hanya teks
tertulis tetapi juga teks yang tidak tertulis atau lisan seperti adat istiadat,
kebudayaan, dan agama.
Suatu teks itu penuh
makna bukan hanya karena mempunyai struktur tertentu, suatu kerangka yang menentukan
dan mendukung bentuk, tetapi juga karena teks itu berhubungan dengan teks lain.
Sebuah teks lahir dari teks-teks lain dan harus dipandang sesuai tempatnya
dalam kawasan tekstual. Hal inilah yang disebut intertekstual, yaitu pengertian
bahwa suatu teks tidak dapat tidak dipengaruhi oleh teks baru, baik
perbedaannya maupun persamaannya (Partini dalam Masyarakat Poetika Indonesia,
2015: 172).
2.1.1 Prinsip
Intertekstualitas
Pengertian, paham,
atau prinsip intertekstualitas berasal dari Prancis dan bersumber pada aliran
dalam strukturalisme Prancis yang dipengaruhi oleh pemikiran filsuf Prancis,
Jaques Derrida, dan dikembangkan oleh Julia Kristeva. Prinsip ini berarti bahwa
setiap teks sastra dibaca dan harus dengan latar belakang teks-teks lain; tidak
ada sebuah teks pun yang sungguh-sungguh mandiri, dalam arti bahwa penciptaan
dan pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain sebagai
contoh, teladan, kerangka; tidak dalam arti bahwa teks baru hanya meneladan
teks lain atau mematuhi kerangka yang telah diberikan lebih dulu, tetapi dalam
arti bahwa dalam penyimpangan dan transformasi pun model teks yang sudah ada
memainkan peranan yang penting. Pemberontakan atau penyimpangan mengandaikan
adanya sesuatu yang dapat diberontaki ataupun disimpangi; dan pemahaman teks
baru memerlukan latar belakang pengetahuan tentang teks-teks yang mendahuluinya
(Kristeva dalam Masyarakat Poetika Indonesia, 2015: 172).
Sajak yang menjadi
latar penciptaan sajak baru oleh Rifaterre disebut hypogram. Dalam hubungan
ini Kristevas (dalam Masyarakat Poetika Indonesia, 2015: 172—173) mengemukakan
bahwa tiap teks itu merupakan mosaik kutipan-kutipan dan merupakan penyerapan
(transformasi) teks-teks lain. Maksudnya, tiap teks itu mengambil hal-hal yang
bagus dari teks lain berdasarkan tanggapan-tanggapannya dan diolah kembali
dalam karyanya atau ditulis setelah melihat, meresapi, menyerap hal yang
menarik, baik secara sadar maupun tidak sadar. Setelah menanggapi teks lain dan
menyerap konvensi sastra, konsep estetik, atau pikiran-pikirannya kemudian
mentransformasikannya ke dalam karya sendiri dengan gagasan dan konsep estetik
sendiri sehingga terjadi perpaduan baru. Konvensi dan gagasan yang diserap itu
dapat dikenali apabila kita membandingkan teks yang menjadi hypogram-nya
dengan teks baru itu. Teks baru atau teks yang menyerap dan mentransformasikan hypogram
itu disebut teks transformasi.
Intertekstual
menurut Kristeva mempunyai prinsip dan kaidah tersendiri dalam penelitian karya
sastra, antara lain : (1) interteks melihat hakikat sebuah teks yang di dalamnya
terdapat berbagai teks; (2) interteks menganalisis sebuah karya itu berdasarkan
aspek yang membina karya tersebut, yaitu unsur-unsur struktur seperti tema,
plot, watak, dan bahasa, serta unsur-unsur di luar struktur seperti unsur
sejarah, budaya, agama yang menjadi bagian dari komposisi teks; (3) interteks
mengkaji keseimbangan antara aspek dalaman dan aspek luaran dengan melihat
fungsi dan tujuan kehadiran teks-teks tersebut; (4) teori interteks juga menyebut
bahwa sebuah teks itu tercipta berdasarkan karya-karya yang lain. Kajian tidak
hanya tertumpu pada teks yang dibaca, tetapi meneliti teks-teks lainnya untuk
melihat aspek-aspek yang meresap ke dalam teks yang ditulis atau dibaca atau
dikaji; (5) yang terpenting dalam interteks adalah menghargai pengambilan,
kehadiran, dan masuknya unsur-unsur lain ke dalam sebuah karya.
Dalam konsep
intertekstual, teks yang menjadi dasar penciptaan teks, yang ditulis kemudian,
dipandang sebagai bentuk hipogram (Riffaterre, 1978: 165). Karya yang diciptakan
berdasarkan hipogram itu disebut sebagai karya transformasi karena
menstransformasikan hipogram itu. Unsur-unsur yang diserap sebuah teks dari
teks-teks hipogram yang mungkin berupa kata, sintagma, model bentuk, gagasan,
atau berbagai unsur instrinsik yang lain, bahkan dapat pula berupa sifat
kontradiksinya, akan menghasilkan sebuah karya baru sehingga hipogramnya
mungkin tidak dikenali lagi, atau bahkan dilupakan (Riffaterre, 1978: 165). Hal
itu memungkinkan lahirnya dua buah karya yang mempunyai tema sama, tetapi
berbeda cara penyajian ceritanya. Demikian sebaliknya, terdapat cara penyajian
ceritanya yang sama, tetapi berbeda dari segi temanya (Culler, 1977: 241).
Hipogram
dibedakan menjadi dua macam, yakni hipogram potensial dan hipogram aktual
(Riffaterre, 1978: 23). Hipogram potensial tidak eksplisit dalam teks, tetapi
dapat diabstraksikan dari teks. Hipogram potensial merupakan potensi sistem
tanda pada sebuah teks sehingga makna teks dapat dipahami pada karya itu sendiri,
tanpa mengacu pada teks yang sudah ada sebelumnya. Hipogram potensial itu
adalah matrik yang merupakan inti dari teks atau kata kunci, yang dapat berupa
kata, frase, klausa, atau kalimat sederhana. Hipogram aktual adalah teks nyata,
yang dapat berupa kata, frase, kalimat, peribahasa, atau seluruh teks, yang
menjadi latar penciptaan teks baru sehingga signifikansi teks harus ditemukan
dengan mengacu pada teks lain atau teks yang sudah ada sebelumnya. Teks dalam
pengertian umum bukan hanya teks tertulis atau teks lisan, tetapi juga
adat-istiadat, kebudayaan, agama, bahkan dunia ini. Hipogram tersebut direspon
atau ditanggapi oleh teks baru. Tanggapan tersebut dapat berupa penerusan atau
penentangan tradisi atau konvensi. Adanya tanggapan itu menunjukkan bahwa
keberadaan suatu teks sastra adalah dalam rangka fungsi yang ditunjukkan kepada
pembaca.
2.1.2 Prinsip
Intertekstualitas dan Penerapannya pada Karya Sastra
Prinsip intertekstualitas
dalam kritik sastra di dunia barat sudah mulai dikenal tahun enam puluhan. Di
Indonesia, prinsip ini baru diterapkan pada karya sastra Indonesia pada tahun
delapan puluhan dipelopori Teeuw dalam artikel Majalah Basis tahun 1980
No. 30.1 yang ditulis kembali dalam buku Membaca dan Menilai Sastra
(1983).
Karya sastra tidak
lahir dalam kekosongan budaya, termasuk sastra. Karya sastra itu merupakan response
(Teeuw dalam dalam Masyarakat Poetika Indonesia, 2015: 173) pada karya sastra
yang terbit sebelumnya. Oleh karena itu, sebuah teks tidak dapat dilepaskan
sama sekali dari teks lain. Sebuah karya sastra baru mendapatkan maknanya yang
hakiki dalam kontrasnya dengan karya sebelumnya. Teks dalam pengertian umum
adalah dunia semesta ini, bukan hanya teks tertulis atau teks lisan. Adat
istiadat, kebudayaan, film, drama secara pengertian umum adalah teks
(Masyarakat Poetika Indonesia, 2015: 173). Oleh karena itu, karya sastra tidak
dapat lepas dari hal-hal yang menjadi latar penciptaannya tersebut, baik secara
umum maupun khusus.
Teeuw membuktikan
bahwa prinsip intertekstualitas (selanjutnya disebut pendekatan intertekstual)
dapat diterapkan secara efektif pada karya sastra Indonesia. Misalnya,
Sajak-Sajak Indonesia Modern karya Amir Hamzah (Pujangga Baru) dan sajak karya
Chairil Anwar (Angkatan '45) seperti 'Berdiri
Aku' dengan ‘Senja di Pelabuhan
Kecil’; sajak ‘Kusangka’ dengan ‘Penerimaan’; ‘Dalam Matamu’ dengan ‘Sajak
Putih’. H.B Jassin dalam bukunya Chairil Anwar Pelopor Angkatan ’45 (1978)
telah menerapkan pendekatan intertekstualisme untuk memahami sajak Chairil yang
penciptaannya dilatari sajak-sajak penyair Eropa dan Amerika. Demikian pula
Michael Rifaterre dalam bukunya Semiotics of Poetry (1978)
mendemonstrasikan pendekatan intertekstualisme secara nyata dengan mambahas sajak
Prancis yang baru dapat dipahami sepenuhnya apabila dibaca dengan latar
belakang sajak lain.
Rachmat Djoko Pradopo dalam bukunya
Pengkajian Puisi (1978) menjelaskan bahwa hubungan intertekstual dalam sajak Indonesia modern tercipta berdasarkan
konvensi dan tradisi sastra masyarakat yang bersangkutan. Misalnya, sebelum
terbit sajak Pujangga Baru sudah ada sajak Indonesia Lama (Melayu). Pada waktu
itu, para penyair Pujangga Baru telah mengenal konvensi pantun dan syair dan
ketika mereka berniat membuat puisi baru setelah mengenal puisi Eropa, mereka
menentang aturan dan konvensi bentuk formal maupun konvensi isi pikiran yang
dikandungnya. Sebagai contoh, perhatikan sajak berikut ini.
BUKAN BETA BIJAK BERDIRI
Rustam
Effendi
Bukan beta bijak berperi,
Pandai mengubah madahan syair,
Bukan beta budak Negeri,
Musti menurut undangan mair
Sarat saraf sayan mungkiri,
Untai rangkaian seloka lama,
Beta buang beta singkiri,
Sebab laguku menurut sukma.
Susah sungguh saya sampaikan,
Degap-degupan di dalam kalbu,
Lemah laun lagu dengungan,
Matnya digamat rasain waktu.
Sering saya susah sesaat,
Sebab madahan tidak nak datang,
Sering saya sulit menekat,
Sebab terkurung lukisan mamang.
Bukan beta bijak berlagu,
Dapat melemah bingkaian pantun,
Bukan beta berbuat baru,
Hanya mendengar bisikan alun.
Sajak di atas menyimpangi konvensi
persajakan pantun dan syair. Bentuknya adalah syair karena kelima bait berisi
pernyataan yang bersambungan. Isi sajak itu berupa pernyataan perasaan pribadi
(aku). Akan tetapi, kalau melihat pola rimanya yang a b a b, tiap baris terdiri
atas dua periodus, tiap periodus terdiri atas dua kata, sajak Rustam itu masih
merupakan konvensi sajak Melayu. Konvensi yang dipertahankan Rustam dalam
sajaknya adalah konvensi pemberian nasihat dan lukisan alam yang indah. Hal ini
sesuai dengan pendapat Teeuw (dalam Masyarakat Poetika Indonesia, 2015: 175)
bahwa sajak meneruskan ciri-ciri yang merupakan konvensi sebelumnya. Dalam hal
ini terjadi ketegangan antara pembaharuan dan konvensi, antara yang lama dan
yang baru.
Sajak-sajak lain yang memiliki hubungan
intertekstual misalnya sajak penyair Angkatan ’45 dengan penyair angkatan
Pujangga Baru dan penyair-penyair sesudahnya berikut ini.
KUSANGKA
Amir
Hamzah
Kusangka cempaka kembang setangkai
Rupanya melur telah diseri...
Hatiku remuk mengenangkan ini
Wasangka dan was-was silih berganti.
Kuharap cempaka baharu kembang
Belum tahu sianar matahari...
Rupanya teratai patah kelopak
Dihinggapi kembang berpuluh kali.
Kupuhonkan cempaka
Harum mula berserak...
Melati yang ada
Pandai tergelak...
Mimpiku seroja terapung di paya
Teratai putih awan angkasa...
Rupanya mawar mengandung lumpur
Kaca piring bunga renungan...
Igauanku subu, impianku malam
Kuntum cempaka putih bersih...
Kulihat kembang keliling berlagu
Kelopakmu terbuka menerima cumbu.
Kusangka hari bertudung lingkup
Bulu mata menyangga panah asmara
Rupanya merpati jangan dipetik
Kalau dipetik menguku segara
Buah Rindu
PENERIMAAN
Chairil
Anwar
Kalau kau mau kuterima kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri
Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari yang sudah terbagi
Jangan tunduk! Tantang aku dengan berani
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi
Deru Campur
Debu
Sajak ‘Kusangka’
merupakan hypogram sajak ‘Penerimaan’ yang menunjukkan
kesejajaran kedua sajak tersebut di atas adalah gagasannya yaitu membandingkan
gadis dengan bunga. Akan tetapi ciri dua penyair dari zaman yang berbeda dapat
diamati dari bentuk formal sajak dan bahasa yang dipergunakan. Gagasan yang sama
diolah dua penyair yang memiliki kepribadian masing-masing sehingga sikap dan
pandangan mereka pun berbeda dalam menghadapi suatu permasalahan. Misalnya
dalam sajak ‘Kusangka’, Amir Hamzah
sangat kecewa karena gadis yang disangka murni itu ternyata tidak murni lagi
sehingga memutuskan untuk tidak menerima gadis itu. Sedangkan Chairil Anwar
dalam sajaknya ‘Penerimaan’
menghadapi masalah yang sama, tetapi bersikap bertentangan dengan Amir Hamzah
yang bersedia menerima gadis yang tidak murni itu, tetapi dengan syarat
sepenuhnya milik si aku dan tidak boleh mendua lagi.
2.2 Orisinalitas Teks
Munculnya studi interteks, sebenarnya lebih banyak dipengaruhi oleh
pembuatan sejarah sastra. Karena, melalui pembuatan sejarah sastra, interteks
akan menyumbangkan bahan yang luar biasa pentingnya. Maksudnya, jika dalam
tradisi sastra terdapat pinjam-meminjam antara sastra satu dengan yang lain,
akan terlihat pengaruhnya. Sedangkan munculnya sastra bandingan dengan bidang
lain, kemungkinan besar dipengaruhi oleh penelitian lintas disiplin ilmu.
Studi interteks menurut Frow dalam Endraswara (2013: 131)
didasarkan pada beberapa asumsi kritis, yaitu:
(a)
Konsep
interteks menuntut peneliti untuk memahami teks tak hanya sebagai isi,
melainkan juga aspek perbedaan dan kesejahteraan teks.
(b)
Teks tak hanya
struktur yang ada tetapi satu sama lain juga saling memburu sehingga terjadi
perulangan atau tranformasi teks.
(c)
Ketidakhadiran
struktur teks dalam rentang teks yang lain namun hadir juga pada teks tertentu
merupakan proses waktu yang menentukan.
(d)
Bentuk
kehadiran struktur teks merupakan rentangan dari yang eksplisit sampai
implisit. Tak boleh begitu saja diciptakan ke bentuk lain: di luar norma
idiologi dan budaya, di luar genre, di luar gaya dan idiom, dan di luar
hubungan teks-teks lain.
(e)
Hubungan teks
satu dengan yang lain boleh dalam rentang waktu lama, hubungan tersebut bisa
secara abstrak, hubungan interteks juga sering terjadi
penghilangan-penghilangan bagian tertentu.
(f)
Pengaruh
mediasi pada interteks sering mempengaruhi juga pada penghilangan gaya maupun
norma-norma sastra.
(g)
Dalam melakukan
identifikasi interteks diperlukan proses interprestasi.
(h)
Analisis
interteks berbeda dengan melakukan kritik melainkan lebih terfokus pada konsep
pengaruh.
Jika dicermati dari asumsi di atas, peneliti interteks semula
memang pengembangan dari resepsi sastra, terutama resepsi teks. Asumsi paham
interteks adalah bahwa teks sastra tidak berdiri sendiri. Teks dibangun atas
teks yang lain. Pengarang ketika mengekspresikan karyanya, telah meresepsi
karya sebelumnya. Hanya saja, terjadinya interteks tersebut ada yang sangat
vulgar dan ada pula yang sangat halus. Semua kasus interteks bergantung
keahlian pengarang menyembunyikan atau sebaliknya memang ingin menampakkan
karya orang lain dalam karyanya.
Junus dalam Endraswara (2013: 131) mengatakan munculnya interteks
sebenarnya dipengaruhi oleh hakikat teks yang di dalamnya terdapat teks lain.
Hal ini mengisyaratkan bahwa unsur teks yang masuk ke teks lain itu dapat saja
hanya setitik saja. Jika kemungkinan unsur yang masuk itu banyak, berarti telah
terjadi resepsi yang berarti. Jika dalam suatu teks terdapat berbagai teks lain
berarti teks sastra tersebut disebut karnaval. Teks yang lahir kemudian hanya
mosaik dari karya yang sebelumnya. Mosaik tersebut ibarat bahan yang
terpecah-pecah, terpencar-pencar, sehingga pengarang berikutnya sering harus
menata ulang ke dalam karyanya. Dari ini akan tercipta sebuah karya yang
merupakan transformasi teks lain.
Dari pendapat demikian layak jika Culler dalam Endraswara (2013:
132) menyatakan bahwa studi intertekstual akan membawa peneliti memandang
teks-teks pendahulu sebagai sumbangan pada suatu kode yang memungkinkan efek signifiation,
yaitu pemaknaan yang bermacam-macam, akan ditemukan makna yang asli. Pada saat
itu pula teks asli akan diketemukan. Yakni, teks yang kurang lebih disebut
orisinil. Kendati istilah orisinil ini masih mengundang perdebatan, karena
hampir tak mungkin karya sastra yang “bebas” dari karya orang lain. Namun
demikian, melalui studi interteks, setidaknya peneliti akan mampu memilih dan
memilah, mana karya yang paling dekat dengan asli dan mana yang telah bergeser.
2.3
Pokok Kajian
Intertekstualitas
Kajian sastra bandingan, pada akhirnya harus masuk ke dalam wilayah
hipogram. Hipogram adalah modal utama dalam sastra yang akan melahirkan karya
berikutnya. Jadi, hipogram adalah karya sastra yang menjadi latar kelahiran
karya berikutnya. Sedangkan karya berikutnya dinamakan karya tranformasi.
Hipogram dan transformasi akan berjalan terus-menerus sejauh proses sastra itu
hidup. Hipogram merupakan “induk” yang meneteskan karya-karya baru.
Dalam hal ini peneliti sastra berusaha membandingkan antara karya “induk”
dengan karya baru. namun, tidak ingin mencari keaslian, sehingga menganggap
bahwa yang lebih tua yang hebat, seperti halnya studi filologi. Studi interteks
justru ingin melihat seberapa jauh tingkat kreativitas pengarang.
Hipogram karya sastra
akan meliputi:
a)
Ekspansi, yaitu perluasan atau pengembangan karya. Ekspansi tak sekedar
repetisi, tetapi termasuk perubahan gramatikal dan perubahan jenis kata.
b)
Konvensi, adalah pemutarbalikan hipogram atau matriknya. Penulis akan
memodifikasi kalimat ke dalam karya barunya.
c)
Modifikasi, adalah perubahan tataran linguistik, manipulasi urutan kata dan
kalimat. Dapat saja pengarang hanya mengganti nama tokoh, padahal tema dan
jalan ceritanya sama.
d)
Ekserp, adalah
semacam intisari dari unsur atau episode dalam hipogram yang disadap oleh
pengarang. Ekserp biasanya lebih halus, dan sangat sulit dikenali, jika
peneliti belum terbiasa membandingkan karya.
Dari penelitian interteks demikian, akan terlihat lebih jauh bahwa
karya berikutnya merupakan response pada karya-karya yang terbit
sebelumnya. Penampilan teks pada teks lain tersebut dapat dirumuskan sebagai
berikut; 1) kehadiran teks secara fisik suatu teks dalam teks yang lainnya; 2)
kehadiran teks pada teks yang lain kemungkinan hanya berupa kesinambungan
tradisi sehingga pencipta sesudahnya jelas telah membaca karya sebelumnya.
Kehadiran teks lain pada suatu teks akan mewarnai teks baru
tersebut. Karya sastra biasanya baru bermakna penuh dalam hubungannya dengan
sajak lain, baik dalam persamannya maupun pertentangannya. Hal ini
menyugestikan bahwa karya sastra yang lahir kemudian merupakan “pantulan” karya
sebelumnya. Pantulan tersebut dapat langsung maupun tidak langsung. Jika
pantulan itu langsung, tentu karya tersebut memiliki hubungan interteks yang
halus. Hubungan interteks model pertama akan mudah diketahui oleh siapa saja
yang telah membaca beberapa karya. Sedangkan interteks yang kedua, tentu
membutuhkan kejelian pembaca untuk mengetahuinya.
Prinsip dasar interteks adalah karya hanya dapat dipahami maknanya
secara utuh dalam kaitannya dengan teks lain yang menjadi hipogram. Hipogram
adalah karya sastra terdahulu yang dijadikan sandaran berkarya. Dalam hal ini,
sastrawan yang lahir berikut adalah reseptor dan transformator karya
sebelumnya. Dengan demikian mereka selalu menciptakan karya yang asli, karena
dalam mencipta selalu diolah dengan pandangannya sendiri, dengan horison atau
harapannya sendiri.
Penelitian intertekstual tersebut sebenarnya merupakan usaha pemahaman
sastra sebagai sebuah “presupposition”. Yakni sebuah perkiraan bahwa
suatu teks baru mengandung teks lain sebelumnya. Dalam diri pengarang penuh
lapis-lapis teks-teks lain yang sewaktu-waktu dapat keluar dalam karyanya. Jika
yang terungkap dalam karyanya banyak memuat teks lain, memang akan kehilangan
orisinilnya. Presupposition sebenarnya merupakan perkiraan “tanda”
terjadinya transformasi teks. “Tanda” ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
a)
Presupposition logis, biasanya tampak pada pemikiran pengarang dalam kalimat atau
pun kata-kata tertentu. Kalimat atau kata tersebut jika dihadirkan secara
eksplisit, tentu tidak masalah. Namun, jika pencipta berikutnya sangat
samar-samar, peneliti harus mampu menafsirkan. Misalnya, “berapa lama kau
menghuni teralis besi?”, ini berarti Presupposition-nya merujuk pada
narapidana.
b)
Presupposition pragmatis adalah tidak lagi bertolak dari relasi antarkalimat dan
kata, melainkan antara ucapan dan ungkapan. Dalam karya sastra mungkin berupa special
kind of speech act dan juga special word. Misalnya, “buka pintu”
bisa hadir Presupposition-nya permohonan dan perintah.
2.4 Resepsi Sastra dan
Intertekstualitas
Dapat
diduga kemungkinan hubungan yang rapat antara resepsi sastra dan hakikat
intertekstualitas yang ada antara dua teks atau lebih, meskipun tidak ditolak
adanya perbedaan hakikat antara keduanya. Resepsi sastra lebih berhubungan
dengan sesuatu yang aktif, dinamik, yaitu bagaimana orang menerima sesuatu,
atau bagaimana seseorang mendapat suatu kesan, atau memberi makna kepada
sesuatu teks. Intertekstualitas lebih memperhatikan sesuatu yang statik, pasif,
terutama kalau pengertiannya dibatasi kepada pengertian yang diberikan oleh
Julia Kristeya (1970,1980). Tapi dalam perkembangannya memang muncul pengertian
lain, hingga mungkin mendekati resepsi sastra, kalau tidak akan bertindih
dengan resepsi sastra. Untuk menjelaskan hal ini, diperlukan keterangan ringkas
tentang intertekstualitas.
Intertekstualitas
dikatakan Kristeva sebagai hakikat suatu teks yang di dalamnya ada teks lain.
Dengan kata lain, intertekstualitas adalah kehadiran suatu teks pada suatu teks
(lain). Dan bila dalam suatu teks ada berbagai teks lain, maka teks itu mungkin
saja bersifat karnaval. Keterangan Kristeva tentang intertekstualitas dapat
dirumuskan sebagai berikut:
a. Kehadiran
secara fisikal suatu teks dalam suatu teks lainnya.
Contoh
yang baik di sini barangkali ialah mengenai cerita tentang ibu tiri yang jahat.
Kita boleh bertanya tentang tujuan cerita ini diceritakan. Apakah ia
diceritakan untuk menceritakan tentang adanya seorang ibu tiri yang jahat atau
ia diceritakan untuk menyadarkan seoarang anak supaya ia mengasihi dan menolong
ibunya. Kalau ia tidak mengasihi dan tidak menolong ibunya, maka mungkin saja
ibunya akan cepat mati, dan ia akan hidup dengan seorang “ibu tiri yang jahat”.
Karena itu, biasa juga, setelah selesai menceritakan cerita tentang ibu tiri
yang jahat, seorang anak dinasehati untuk mengasihi dan menolong ibunya, supaya
ia tidak perlu hidup bersama ibu tiri.
b. Pengertian
teks bukan hanya terbatas kepada cerita, tapi yang mungkin berupa teks bahasa.
Tapi
kehadiran teks lain dalam suatu teks itu mungkin saja tidak bersifat fisikal
belaka dengan menampilkan (secara eksplisit) (judul) cerita itu sendiri. Namun
mungkin dapat dikesan adanya hal-hal sebagai berikut:
c. Adanya
petunjuk yang menunjukkan hubungan – persambungan dan pemisahan – antara suatu
teks denga teks yang telah terbit lebih dulu. Dengan begitu, bukan tidak
mungkin penulisannya (telah) membaca suatu teks yang terbit lebih dulu dan
kemudian “memasukkan”nya ke dalam teks yang ditulisnya.
d. Dalam
membaca suatu teks, kita tidak hanya membaca teks itu saja, tapi kita
membacanya “berdampingan” dengan teks-teks lainnya, sehingga interpretasi kita
terhadapnya tak dapat dilepaskan dari teks-teks lain itu.
Dalam kesemua
hubungan itu, kehadiran suatu teks lain bukanlah suatu yang polos (=innocent), yang tidak melibatkan suatu
proses pemahaman dan pemaknaan, suatu signifying
process seperti yang juga dikatakan
Kristeva (1980:15) karena itu, disini selalu ikut unsur pemaknaan dan bagaimana
seseorang menerima teks itu. Kalau intertekstualitas hanya mengidentifikasi
“kehadiran” suatu teks lain dalam suatu teks, maka ini hanya memenuhi rasa ingin tahu kita, yang tidak
punya fungsi. Atau hanya diperlukan untuk memberikan identifikasi terhadap
suatu teks. Dan dapat dikatakan bahwa suatu teks yang meghimpun berbagai teks
kepada dirinya adalah suatu teks karnaval. Tapi, intertekstualitas punya
pengertian yang jauh lebih berarti dari hanya apa yang ada beberapa
interpretasi yang dapat dilekatkan padanya. Dapat dilihat adanya berbagai
kemungkinan.
Pendekatan Intertekstual adalah adalah teknik
penelitian sastra yang dilakukan dengan cara membandingkan dan mensejajarkan antar karya. Intertekstual juga dipahami sebagai proses
untuk menghubungkan teks dari masa lampau dengan teks masa kini. Intertekstual dalam puisi dapat mencakup
persamaan maupun pertentangannya. Untuk mendalami hubungan antarteks, penting dibicarkan
karya sastra tersebut dalam kaitannya dengan karya sezaman, sebelum, dan
sesudahnya. Hal ini untuk mengetahui bagaimana hubungan atau kaitan antarteks
yang mungkin terjadi.
Dalam
penyusunan makalah ini, kami selaku penyusun tentunya mengalami banyak
kekeliruan dan kesalahan-kesalahan baik dalam ejaan, pilihan kata, sistematika
penulisan maupun penggunaan bahasa yang kurang di pahami. Untuk itu kami mohon kritik dan sarannya untuk masukan
kami sebagai pembelajaran di waktu yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Endraswara,
Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS (Center
for Academic Publishing Service).
Junus, Umar.
1985. Resepsi Sastra (Sebuah Pengantar). Jakarta: PT Grmaedia.
Masyarakat Poetika
Indonesia. 2015. Teori Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Riffaterre,
Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington: Indiana University
Press.
Rokhmansyah,
Alfian. 2014. Studi dan Pengkajian Sastra. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar